Saksi Bisu Kelahiran Bung Hatta
June 24, 2013 45 Comments
Mengulik sejarah negeri ini seperti candu. Sekali mencicipinya, bisa menyebabkan kita terbuai. Tak ada jalan untuk kembali. Merasa ingin tahu lebih dan lebih banyak lagi. Mozaik-mozaik yang berserakan dari masa lalu seolah memanggil-manggil untuk dijumput, dijamah dan diselami.
Rayuan maut mozaik sejarah melambai dari sebuah dataran tinggi Sumatra Barat. Bukittinggi tepatnya, dari sebuah rumah kayu sederhana, namun cantik dan elegan di Jalan Soekarno-Hatta No 37, Kecamatan Guguh Panjang, Bukittinggi. Di sanalah, sebuah kepingan sejarah penting bangsa ini tergores. Tepat pada 12 Agustus 1902, proklamator Indonesia, Mohammad Hatta alias Bung Hatta, lahir dan menyapa dunia di salah satu kamar di rumah indah tersebut.
Pada kunjungan ke Bukittinggi bersama seorang sahabat, Krisna, 15 Juni lalu, saya sempat panik. Penyebabnya karena kami gagal masuk ke Istana Bung Hatta yang terletak tepat di depan ikon bukittinggi, Jam Gadang. Penjaga istana tersebut mengusir kami karena istana itu memang tidak dibuka untuk umum. Saya kecewa berat karena salah satu alasan datang ke Bukittinggi memang untuk mengenal Bung Hatta lebih dekat. Tapi belum apa-apa kami sudah diusir.
Kegagalan menengok Istana Bung Hatta terobati beberapa jam kemudian. Berkat petunjuk dari seorang warga setempat, kami akhirnya bisa menemukan rumah kelahiran Bung Hatta. Lokasinya di seputaran Pasar Bawah, tak terlalu jauh dari Jam Gadang. Ya, di Bukittinggi ini memang nyaris tak ada tempat yang dibilang jauh. Kota Bukittinggi bisa dengan mudah dilibas dengan berjalan kaki.
Suasana asri menyergap ketika kami melangkahkan kaki menuju halaman rumah kayu dua lantai bercat putih itu. Di halaman depan terdapat sebuah tiang tempat sang saka merah putih berkibar anggun ditiup angin. Tepat di bawah bendera merah putih, berdiri kokoh pohon jambu yang berbuah cukup banyak. Sesampai di teras yang nyaman, kami disambut seorang ibu muda, Bu Maryanis. Beliau adalah pegawai Dinas Pariwisata Bukit Tinggi yang bertugas sebagai penjaga rumah yang sudah berfungsi sebagai museum itu. Beliau menyambut kami dengan hangat. Setelah meminta kami mengisi buku tamu, Bu Maryanis langsung mengajak kami menjelajah rumah bersejarah tersebut.
Ruangan pertama yang kami masuki adalah kamar tidur di samping teras yang berfungsi ganda sebagai ruang perpustakaan Bung Hatta. Ruang Bujang namanya. Ada sejumlah koleksi buku yang dipajang di rak buku yang diletakkan di samping sebuah tempat tidur sederhana berseprei putih. Sebuah jendela besar memberikan akses pemandangan ke jalan depan rumah. Menurut Bu Maryanis dulu bagian depan rumah Bung Hatta bukan jalanan ramai seperti sekarang, melainkan deretan sawah hijau yang menyejukkan mata. Pantas saja Bung Hatta dulu betah membaca di ruangan itu.
Bu Maryanis kemudian mengajak kami masuk ke dalam rumah. Saya lagi-lagi dibuat terpesona dengan apa yang tersaji di depan mata. Penataan rumah sang proklamator ini merupakan perpaduan antara kata sederhana dan elegan. Simpel tapi cantik. Rumah utama lantai dasar terdiri atas ruang tamu, ruang makan dan dua kamar tidur paman Bung Hatta (Saleh Sutan Sinaro dan Mamak Idris). Dinding rumah dihiasi gambar dan foto-foto orang-orang penting dalam kehidupan Bung Hatta, termasuk gambar silsilah keluarga sang proklamator. Ada juga dokumen dan tulisan-tulisan tangan Wakil presiden pertama Indonesia tersebut. Perabot dan ornamen rumah tersebut seperti kursi, meja, lampu dan vas bunga, konon hampir semuanya masih asli. Ada juga lukisan Bung Hatta dalam ukuran cukup besar.
Beranjak ke belakang, ada dua lumbung dan bangunan terpisah. Untuk menuju ke bagian belakang rumah itu, kami harus mengenakan bakiak kayu yang tersedia di sana. Nah, di bagian belakang rumah ini, ada sebuah kamar yang ditempati Bung Hatta sehari-hari. Mengapa kamar diletakkan di bagian terpisah dari rumah juga ada alasannya. Seperti layaknya anak lelaki Minang, Bung Hatta juga sering tidur di surau. Kamar diletakkan di belakang supaya saat pulang kapan pun dia tidak mengganggu penghuni rumah lainnya. Yang menarik, di dalam kamar itu terdapat sepeda onthel kuno yang dulu sering dipakai Bung Hatta di masa mudanya. Bung Hatta tinggal di rumah tersebut sampai umur 11 tahun, sebelum ia melanjutkan sekolah MULO di Padang dan kuliah di Belanda.
Sederet dengan kamar tidur itu, kami disambut oleh kamar mandi dan dapur yang desain dan perabotannya masih klasik dan kuno. Kemudian semakin ke pinggir kami menemukan sebuah bendi yang dulu biasa dipakai oleh keluarga Bung Hatta. Sebelahnya berdiri istal yang dulu menjadi kandang kuda-kuda milik mereka.
Puas berputar-putar di lantai dasar rumah, Bu Maryanis mengajak kami ke lantai dua. Nah, di lantai itulah kami melihat sebuah kamar berukuran cukup besar. Ada ranjang ukuran besar beratap di kamar itu, plus meja rias dan dinding dari anyaman bambu. Itulah kamar tempat kelahiran proklamator sekaligus pemikir bangsa ini, Bung Hatta. Kamarnya sangat terjaga kebersihan serta kerapiannya. Seekor kucing tampak tertidur pulas di tengah kasur, mungkin ia sedang bermimpi napak tilas kisah sang empunya rumah. Selain kamar, di lantai atas rumah tersebut terdiri atas ruang pertemuan dan ada balkon yang dilengkapi kursi goyang yang nyaman. Sangat asik untuk menghabiskan waktu sembari membaca buku.
Rumah keluarga Bung Hatta ini dibangun sekitar 1860-an. Menurut Bu Maryanis sekitar periode 1970-an, rumah tersebut sempat terbengkalai alias tidak terurus. Entah bagaimana cerita lengkapnya, rumah itu kemudian dibeli oleh salah seorang tetangga pemilik Toko Sabar yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat itu. Hampir 20 tahun rumah tersebut menjadi milik Pak Sabar. Untunglah pada periode 1990-an rumah keluarga Bung Hatta kembali dibeli oleh pemerintah Bukitinggi. Pada 1995 renovasi dilakukan yang diprakarsai pemerintah Bukittinggi dan Yayasan Universitas Bung Hatta. Tak banyak perubahan yang dilakukan. Pemugaran tetap berusaha mempertahankan keaslian rumah, termasuk pagar beranda kayu di bagian belakang.
“Keluarga terutama putri-putri Bung Hatta masih sering menengok ke sini. Putrinya kan ada tiga, Bu Meutia, Bu Gemala dan Bu Halida. Bu Meutia yang paling sering datang, biasanya membawa mahasiswanya. Bu Gemala juga lumayan sering, terakhir beliau datang akhir Mei lalu berbarengan ketika rumah beliau di Jakarta dibobol pencuri. Bu Halida paling jarang datang ke sini,” beber Bu Maryanis.
Ketika kembali ke teras depan rumah, rupanya ada dua penjaga museum lainnya yang sudah datang. Sayang sekali saya lupa menanyakan nama mereka. Saya dan Krisna keburu sibuk menanyakan apakah ada buku biografi Bung Hatta yang dijual di museum itu. Menurut Bu Maryanis buku biografi Bung Hatta tersimpan di Jakarta, sedangkan pihak pengelola museum hanya memiliki copiannya. Jika kami berminat, kami harus membayar Rp100.000 untuk mendapatkan duplikat buku tersebut. Setelah berpikir sejenak, kami memutuskan tidak membeli, lebih baik berburu buku aslinya di lapak-lapak buku bekas.
“Pak Hatta muda itu sangat ganteng, bisa dilihat dari foto-fotonya. Beliau juga sangat dihormati dan disenangi oleh masyarakat di sekitar sini,” ujar BU Maryanis.
Tak terasa sudah cukup lama kami berada di rumah tersebut. Rasanya agak enggan untuk beranjak pergi. Benak saya terus meloncat-loncat dengan liar. Saya tak henti membayangkan keseharian Bung Hatta muda. Ide-ide jenius yang menginsiprasi rakyat negeri ini tentu sebagian lahir di sana. Tinggal di rumah seelok dan sehangat ini sepertinya turut berperan membentuk karakter Bung Hatta. Kesederhanaanya terjaga, namun kecerdasan dan kepekaannya terus terasah.
Saat berjalan meninggalkan halaman rumah, saya merasa sangat lega. Misi utama perjalanan ke Sumatra Barat kali ini tuntas sudah. Destinasi lain hanya saya anggap sebagai bonus.
Bukittinggi, 15 Juni 2013
itu foto2nya belum dikompres ya mbak ? agak lemot buka fotonya 😉
wah kegedean ya fotonya…ntar dikompres deh biar gak lemot lagi 🙂
kata-katamu kuwi lho, aduhaiii
Jane pengen berpuisi, tapi kok tak waca2 setengah gagal mas hahahaha
Hiks pingin ke sini juga…
Berapa kali ke Sumatera Barat cuma ke Padang, gak sampe ke Bukittinggi 😦
Selain ke Bukittinggi kayaknya harus ke sawah lunto juga…belum kesampaian nih…yuks kapan2 jalan bareng 🙂
Ihhhh br dr padang yaaaaaaaa
iyaaaa non….tapi nyesel nih belum ke sawah lunto :):)
Kereennn…wahhh mbak Yus udah sampe ke Bukit Tinggi gak ajak2 huhuhu….
kebetulan beli tiket promo mandala lim…udah 6 bulan lalu belinya :):). Tapi masih pengen balik ke Sumatra barat, soalnya belum ke Sawah Lunto….
Nahh aku jg lebih sreg ke Sawah Lunto yg nyimpen banyak sejarah penting di Indonesia…apalagi jalur keretanya sebagai sarana penting di Sumatra jaman dulu 😀
wajib bangett ituu…ayo kapan ke sana. Fahmi juga mau tuh ke sawahlunto 🙂
Jambi trus Sawah Lunto overland kayanya seru lohh *ngayal* 😀
hahahaha…butuh berapa hari tuh? Tapi gak papa ding, cutiku tahun ini masih 20 hari :):)
Wuihh banyak banget cutimu, mbak… Jangan2 kamu bukan editor tapi yg punya perusahaan ya? hahaha
hahahah kalau aku yang punya perusahaan aku cuti terus dong lim….
wahhh baguuuusss, dulu ke Bukittinggi tapi gak sempet kesiniiii jadi pengen kesana lagi 😀
Waduuh kok bisa gak ke sini. Dulu ke mana aja memangnya dit? Brarti mmg harus bslik lagiii hihihi
Cuma main di sekitar jam gadang aja, dulu kelamaan di Harau. Iyahh yuk kesana lagi sekalian sawahlunto 😀
Tapi harau juga kereen kok, pengen foto mulu di sana,..haha, kayaknya banyak banget yg pengen ke sawahlunto,bisa digendakan piknik rame2 nih :):)
Yg komen ini belum pernah nginjekin kakinya di Pulau SUmatera 😦
Kalau biasanya aku nemu GONG di paragraf akhir, kali ini aku kecanthol di paragraf pertama mbak 😀 Pemilihan kata – katanya weejjiaaaaannnn tenan. APIK!
ayoo mbak kapan2 ke sumatra, si fahmi juga pengen tuh ke sawahlunto…hehehe. Paragraf pertamanya dibuat pas melow mbak, jadi agak mendayu-dayu…hahahahha
Uwooww.. Bukittinggi, Sum-Bar itu masuk trip bucket next year.. semoga bisa mampir kesini…
Amiiiin, smg terkabul mbak. Sumbar2 bener2 asik, pantai ada, pegunungan ada wisata sejarah juga ada…lengkaap :):)
Iyes… Benkulu juga 😉 tempat Soekarno diasingkan lalu bertemu dengan Fatmawati. Wishful..
waaah mau tuh ke tempat pengasingan Soekarno mbak…aku juga pengen ke ende mbak, tempat pengasingan soekarno juga…*jadi ikut2-an pengen ke bengkulu nih mbak 🙂
Yuk yuk.. pasti seru ya kalo bisa sekalian bareng 😉
ntar kabar2 kalau jadi ke bengkulu ya mbak, siapa tahu pas jadwalnya cocok hehehehe
Iyes sip. Oya mba.. mau dong di folbek di twitter ya 😉
udaaah mbak,,,,sekarang sudah bisa interaksi di twitter 🙂
Hihihi asiiikk
Hai mbak 🙂 blogwalking dari blognya Koh Halim 😀
udah lama aku ndak ke Bukit Tinggi semoga bisa segera tercapai 🙂
Iya, mbak.. Aku setuju. Nyicipin sejarah kita tuh terus kecanduan hehe…
Makasih dah mampir ya mbak eka 🙂 …amiiin semoga bisa segera k bukittinggi mbak. Sejarah itu semakin digali, semakin banyak misterinya, jadi bikin kecanduan ya mbak…hehehe
Beberapa kali mampir ke bukit tinggi tapi ngak perna terfikir untuk mampir ketempat ini. Gw malah jalan lebih jauh untuk asyik nongkrong di kelok 44 🙂
Thanks info menarik nya
naah yang kelok 44 aku belum pernah mas…gak sempet kemarin…jadi ntar kalau ke sana lagi, kita tukeran destinasi, aku yang gantian ke kelok 44….:)
nah, ini masuk ke list destinasi yang wajib aku kunjungi kalo kesana…semoga segera 🙂
amiiin…kalau bisa sekalian ngerayu penjaga biar bisa masuk yang istana bung hatta mas 🙂
Kemaren saya juga ke sini, membaca tulisan ini saya jadi serasa belum pernah berkunjung ke sini. semua diceritakan sangat detail. banyak hal yang saya tidak sadari sebelumnya. Nice post, layak masuk National Geographic Traveler nih.
Makasih sudah mampir ke lapak ya mas :). Sebenernya masih banyak cerita yang tercecer juga. Someday mungkin harus balik lagi ke sana, masih penasaran pengen masuk ke istana bung Hatta. Ada satu lagi, pengen ke rumah peninggalan Tan Malaka di Payakumbuh.
Mungkin setiap anak sekolah pasti pernah mendengar Bukittinggi,tapi tidak pernah tau seperti apa kota itu. Begitu juga kita sering mendengar nama Bung Hatta,tapi tidak pernah tahu latar belakangnya. Dengan membaca ini, saya jadi merasa mengenalnya. Apalagi dengan pemaparan yang begitu lengkap di blog ini. Saya resmi jadi penggemar blog ini.
Dengan berkelana ke penjuru negeri ini ternyata membuat kita lebih mudah dan lebih bisa memahami sejarah negeri ini. Pelajaran di sekolah kadangkala hanya menjadi angin lalu. Wah, makasih sekali atas apresiasinya mas, jadi penyemangat saya untuk terus menulis 🙂
aaa thank you postingannya kak, minggu lalu ke Bukit Tinggi, sempat mampir kesini, tapi yang megang kunci sudah pulang. Katanya kalau bulan Puasa memang tutup lebih awal 😦
kecewa banget kan jauh-jauh datang mau lihat rumah Bung Hatta ternyata cuma bisa masuk sampe pelatarannya aja 😦
dan sama seperti kakak, aku juga ga bisa masuk ke istana Bung Hatta yang ada seberang Jam gadang.
Bahkan setiap hari pulang-pergi rumah ke kantor pasti melewati tempat peristirahatan terakhir Bung Hatta di Tanah Kusir, namun belum pernah mampir 😦
@geretkoper
Wahh sayang banget ya meidi, padahal dah sampai sana. Kayaknya next time harus ke sana lagi. Yang masih bikin penasaran sampai sekarang itu tempat pengasingan bung hatta di digul. Eh atau mungkin dimulai dulu dengan mengunjungi makamnya di tanah kusir ya 🙂
Pingback: Honeymoon Trip: Bukittinggi Day 2 | The Science of Life
Pingback: Bersantai di Bukittinggi | Usemayjourney