Nyanyian Gelisah Perpustakaan Mangkunegaran
September 23, 2013 22 Comments
Sepasang tangan keriput milik Pak Sonto tampak bergerak lincah. Tangan kiri terpaku di atas buku kusam kecoklatan berisi barisan tulisan aksara Jawa. Gerakan lebih gesit diperagakan tangan kanannya yang memegang sebuah pena, mengguratkan kata demi kata ke lembaran kertas folio. Sebuah kaca pembesar melengkapi keriuhan meja sederhana tempat Pak Sonto menjalani aktivitasnya siang itu.
Siapakah Pak sonto? Beliau memang bukan seorang pesohor. Nama lengkapnya KP Sontodipuro. Biasa dipanggil Wa Sonto atau Pak Sonto. Pak Sonto adalah salah satu petugas di Reksa Poestaka atau lebih dikenal sebagai Perpustakaan Mangkunegaran Solo. Usianya sudah menginjak 87 tahun. Di usia sesenja tersebut, normalnya Pak Sonto menghabiskan hari-harinya dengan bersantai di rumah bersama anak cucunya. Tapi beliau memilih jalan yang berbeda. Pak Sonto lebih suka menghabiskan sebagian harinya untuk mengabdi di Reksa Poestaka. Tugasnya adalah mentranskrip tulisan jawa ke latin. Jika tak rampung dikerjakan di kantor, Pak Sonto kadang harus merampungkan naskah transkrip di rumah. “Sekarang banyak anak kecil dan anak muda yang tidak bisa membaca aksara Jawa. Dengan ditranskrip ke tulisan latin, mereka jadi bisa membaca dan memahaminya,” kata Pak Sonto menjelaskan pentingnya tugas yang diembannya.
Pak Sonto tidak sendirian. Total ada empat petugas transkrip yang dimiliki Reksa Poestaka. Beliau ditemani Bu Darweni dan pasangan suami istri, Pak Andreas Waluyo dan Bu Sudarsi. Sedangkan di luar petugas transkrip, masih ada tiga pegawai lain. Jadi, Reksa Poestaka total memiliki tujuh pegawai. Cukupkah tujuh pegawai untuk mengelola perpustakaan milik Pura Mangkunegaran ini?
Untuk mencari jawabannya, tidak ada salahnya mengenal lebih dalam terlebih dahulu tentang perpustakaan Mangkunegaran. Bangunan Reksa Poestaka berada di sisi Timur Pura Mangkunegaran, terdiri atas dua lantai. Lantai pertama berfungsi untuk mendaftar pengunjung yang datang. Sementara koleksi buku-buku diletakkan di lantai dua.
Perpustakaan ini didirikan oleh Sri Mangkunegara IV pada 11 Agustus 1867. Pada masa pemerintahan sebelumnya, Mangkunegara I-III, serat-serat maupun buku-buku kuno sudah ada. Namun cuma ditumpuk begitu saja, tak terawat dengan baik. Barulah pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara IV, ide gemilang mendirikan perpustakaan muncul. Reksa Poestaka mengalami perkembangan luar biasa saat Mangkunegara VI berkuasa. Mangkunegara VI ini menambah koleksi buku-buku dari luar negeri hingga dua kali lipat. Beliau juga membuka perpustakaan yang awalnya berstatus hanya untuk pegawai kerajaan menjadi perpustakaan umum. Jujur saya harus angkat jempol untuk mereka yang sangat berpikiran maju ini.
Seiring bergulirnya hari, bulan, tahun dan abad, perpustakaan tetap lestari. Bahkan saat ini bisa dibilang Reksa Poestaka merupakan perpustakaan paling penting di Solo. Saya menyebutnya sebagai harta karun sejarah, benar-benar tak ternilai harganya.
Bicara koleksi buku, Reksa Poestaka memiliki berbagai aset sejarah. Perpustakaan ini memiliki sejumlah arsip yang berusia ratusan tahun. Buku yang dimiliki perpustakaan Rekso Poestaka antara lain sejarah, sastra, wayang, tari, karawitan, dongeng, primbon, hukum dan beberapa buku tentang Pura Mangkunegatan. Buku kuno di sana dari berbagai macam bahasa, mulai Jawa, Belanda, Inggris, Prancis dan Jerman. Koleksi foto-foto kuno tentang keluarga Mangkunegaran dan Kota Solo juga tersimpan rapi di sana.
Menurut Bu Darweni, koleksi buku di Reksa Poestaka berjumlah sekitar 30.000 buah. Di antara buku-buku tersebut, sebagian berupa naskah dengan tulisan Jawa. Petugas perpustakaan terus berusaha menerjemahkan semua naskah tersebut ke tulisan latin. Tapi itu bukan tugas yang mudah. Masih ada sekitar 2.000 judul yang belum diterjemahkan. Ironisnya, Reksa Poestaka hanya memiliki empat petugas transkrip.
Masalah tak berhenti sampai di situ. Ancaman kerusakan naskah-naskah kuno dan buku juga terus membayangi. Dengan ruangan yang sederhana dan tua, buku koleksi Reksa Poestaka jelas rawan rusak. Standar penyimpanan di sana terkesan seadanya. Solusi terbaik untuk melestarikan aset-aset berharga tersebut tentu dengan digitalisasi. Dengan demikin, jika ada pengujung ingin mencari data cukup dengan melihat versi digitalnya. Buku yang asli idealnya disimpan di tempat aman dan jangan sering disentuh.
“Pelaksanaan digitalisasi baru berjalan dua tahun terakhir ini. Baru ada 10 judul buku yang kami ubah ke format digital, sisanya masih ada 1.000-an naskah kuno. Kendalanya tenaga untuk itu sangat terbatas. Petugas di sini yang bisa komputer hanya tiga orang, sedangkan yang bisa menangani scan cuma satu orang. Sebulan paling hanya 100 lembar yang bisa di-scan,” beber Bu Darweni.
Masalah yang dihadapi Reksa Poestaka bisa dibilang sangat klasik. Ketika dunia luar bergerak dengan cepat, Reksa Poestaka tak gesit mengimbanginya. Seluruh petugas Reksa Poestaka telah berusia senja. Profesi ini mungkin kurang seksi bagi anak muda jaman kini. Pengabdian dan kecintaan nyaris tanpa pamrih bukan magnet menarik.
Bayangkan saja, petugas transkrip di Reksa Pestaka hanya menerima gaji tetap Rp30.000 sebulan. Angka ini jelas bukan jumlah ideal bagi manusia modern dengan segala tetek bengek kebutuhannya. Petugas transkrip memang masih bisa memperoleh pemasukan tambahan dari Yayasan Surya Sumirat Mangkunegaran. Untuk satu lembar transkrip naskah, mereka berhak mendapatkan Rp10.000. Namun pemasukan tambahan ini pun dibatasi. Bu Sudarsi misalnya, maksimal hanya boleh mentranskrip 40 lembar sebulan, sedangkan suaminya dibatasi hingga 60 lembar sebulan. Hebatnya, perempuan berusia 69 tahun ini bisa membiayai sekolah dan mengantarkan anak-anaknya hidup nyaman.
Bu Sudarsi mengaku tidak menyesal telah menghabiskan berpuluh-puluh tahun untuk mengabdi di perpustaan itu. Baginya itu adalah bagian dari pengabdian seorang abdi dalem Pura Mangkunegaran. Namun, tak urung nyanyian gelisah terlontar dari bibirnya. Dia mengaku resah dengan kelangsungan perpustakaan itu di masa mendatang. Bu Sudarsi khawatir karena tak ada regenerasi. “Semua petugas di sini sudah tua. Sebenarnya mungkin ada banyak anak muda yang tahu sejarah atau bisa menerjemahkan naskah-naskah kuno. Tapi apakah mereka mau menerima gaji segitu?”
Kegelisahan senada diungkapkan Pak Basuki. Pria berusia 52 tahun yang bertugas di bagian koleksi foto perpustakaan ini sudah 25 tahun mengabdi di Reksa Poestaka. Keterbatasan dana membuat pengelola perpustakaan tak bisa menjanjikan gaji besar. “Pengunjung muda banyak, kebanyakan mahasiswa yang nyari data. Banyak juga pengunjung dari luar negeri. Tapi kalau untuk bekerja di sini, sepertinya kurang menarik bagi generasi muda. Inilah namanya pengabdian, saya sudah kebacut tresno. Kalau mau cari harta jangan di sini. Tapi saya khawatir, nanti kalau ditinggal yang sepuh-sepuh gimana. Siapa yang mengurusi perpustakaan ini?”
Saya dan teman saya, Mbak Retno, hanya bisa diam mendengar pertanyaan yang dilontarkan Pak Basuki pada suatu siang di pertengahan September tersebut. Tak ada solusi yang bisa kami tawarkan. Namun, Pak Basuki masih tetap tersenyum tulus. Dia mengaku senang sudah dikunjungi dan berharap kami sering-sering datang. Baginya melihat ada yang mau menengok, datang dan peduli dengan perpustakaan itu merupakan sebuah kebahagian tak terkira. Indah sekali. Seindah lantunan suara gamelan monggang dari pendopo Pura Mangkunegarap yang sayup-sayup masuk melalui jendela perpustakaan. Semoga suara indah itu mengisyaratkan ada jalan keluar suatu saat nanti. Semoga.
Solo, 21 September 2013
gak boleh pake kaos oblong.. dan perpustakaan ini terancam keberadaannya 😦 saking minimnya dana,nye-can dan n-transkrip *duh belibet) aja gak boleh banyak2 ya 😮
bukan gak boleh banyak2 isna,,,tapi tenaga buat nye-scan gak ada…:)
contoh nyata Loyalitas 😛
bagi mereka ini bagian dari pengabdian dan kecintaan…:)
Jadi inget dulu belajar nulis huruf-huruf Jawa di sekolah…sekarang sudah menguap ilmunya 😦 Btw, gajinya 30rb sebulan? Serius? Wow…salut…bener2 pengabdian :’)
Iya mbak, gaji pokoknya cuma segitu. tambahannya dari transkrip naskah. Rata2 cuma terima 500 ribu perbulan..gaji abdi dalem di keraton mana pun memang tidak masuk akal, tapi mereka menganggapnya sebagai berkah..:)
Mantap…begini nih yang harus y dijadikan contoh…
PR-nya adalah bagaimana mencari orang2 yang meneruskan tugas mereka…nah ini yang susah 😦
Bayangkan saja, petugas transkrip di Reksa Pestaka hanya menerima gaji tetap Rp30.000 sebulan. Angka ini jelas bukan jumlah ideal bagi manusia modern dengan segala tetek bengek kebutuhannya. Petugas transkrip memang masih bisa memperoleh pemasukan tambahan dari Yayasan Surya Sumirat Mangkunegaran. Untuk satu lembar transkrip naskah, mereka berhak mendapatkan Rp10.000. Namun pemasukan tambahan ini pun dibatasi. Bu Sudarsi misalnya, maksimal hanya boleh mentranskrip paling banyak 40 lembar, sedangkan suaminya dibatasi hingga 60 lembar. Hebatnya, perempuan berusia 69 tahun ini bisa membiayai sekolah dan mengantarkan anak-anaknya hidup nyaman.
itu serius gajinya segitu????
seriuss non…gaji2 abdi dalem di keraton manapun kan memang selalu minim…rata2 di bawah 100 ribu sebulan. tapi kalah petugas di perpustakaan ini msh dapat tambahan dari transkrip, jadi pemasukkannya rata2 500 ribu sebulan,…teteo minim banget ya
iya minim banget 🙂 tapi mereka seneng ya ngerjainnya
iya non, mereka ikhlas dan sangat menikmati..keren ya 🙂
saya malah belum pernah kesini mbak…
padahal rumah di boyolali… :malu
tinggal cus dong…paling cuma 30 menit 🙂
Mbakkkkk kenapa kau tinggalkan akuuu huhuhu #lebay
Yukkk ke sana lagi yuk 🙂
maafkan daku lim, kemarin spontan diajakin temenku mbak retno…langsung cuss deh. Kapan2 lagi ke sana, kan pengen pas hari rabu 🙂
Rabu pas ada latihan tari ya? Oke sipp… 😀
beresss,,,mungkin rabu depan ya liiiim 🙂
Haaaa… dulu blas-blus nganter anak2 nari tiap sore malah nggak tau.ki sebelahe pas to mbak?lewat gapuro wetan?
bangunan sayap timur mas..lewat gerbang timur lebih deket. jadi sebelah timure pendopo utama mas….
petugasnya udah sepuh2, tapi mereka masih sebisa mungkin menjalankan tugasnya ya .. duh, jadi ngga enak, sini ngaku masih muda, tapi kerjaan lebih sering disambi twitteran .. 😦
btw, pas kemaren kita kesana tuh perpustakaannya udah tutup ya, mba ? 😮
Mereka menganggap bekerja sebagai bentuk pengabdian zah. padahal gajinya sedikit sekali. Iyaaa udah tutup, kalau sabtu perpusnya tutup jam 11.00 🙂 Next time ke sana deh 🙂