Bagi Mereka Air Itu Seperti Madu
October 17, 2013 21 Comments
Beberapa tahun lalu saya pernah merasakan masa paceklik air. Sampai-sampai untuk mandi setiap orang hanya dijatah seember kecil air. Mandinya juga tidak bisa sehari dua kali. Cukup sekali, alias pagi dan sore digabung jadi satu. Pokoknya benar-benar pengiritan.
Pengalaman itu saya rasakan saat mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Dukuh Jurug, Desa Giriwungu, Kecamatan Panggang, Gunung Kidul. Wilayah Gunung Kidul memang dikenal kering dan tandus pada musim kemarau. Pipa PDAM sudah masuk ke Dukuh Jurug, tapi paling hanya mengalir tiga pekan sekali. Bahkan kadang kala selama berpekan-pekan pipa PDAM hanya diam “membisu”.
Penduduk Jurug terpaksa membeli air bersih untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Saat itu satu tangki yang berisi 5.000 liter air dibanderol Rp75.000. Mahal dan murah memang relatif. Tapi, bagi warga Jurug yang mayoritas mengandalkan gaplek sebagai sumber pendapatan utama, harga ini jelas tinggi. Sebagai gambaran, sekilo gaplek kala itu dijual seharga Rp300. Jadi bisa dibayangkan kan betapa mahalnya harga setangki air bagi mereka?
Air biasanya disimpan dalam bak penampungan besar dan cukup untuk mencukupi kebutuhan selama sebulan. Hampir setiap rumah punya bak penampungan sendiri-sendiri. Air hasil membeli diprioritaskan untuk minum. Sedangkan untuk mandi, sebagian penduduk masih bisa mengandalkan sendang yang ada di desa tersebut. Jangan membayangkan sendang tersebut seperti kolam renang yang nyaman. Sekadar informasi saj, sendang yang biasa digunakan mandi itu airnya keruh dan berwarna agak kehijauan.
Kami mahasiswa KKN juga harus membeli air. Karena ada sekitar tujuh mahasiswa plus lima anggota keluarga pemilik rumah, kebutuhan air juga besar. Biasanya setangki air ludes dalam sepekan. Membeli air menjadi salah satu pos pengeluaran yang cukup menguras kantong. Ujung-ujungnya kami juga perlu berhemat.
Jangan berharap bisa mandi seperti biasanya. Kami harus punya teknik khusus supaya air seember kecil cukup untuk sikat gigi dan membilas sabun di tubuh. Jika ingin keramas, jatah airnya ditambah seember. Mencuci baju? Kami biasanya pilih mengangkut baju kotor ke Jogja dan mencuci di sana sepekan sekali. Taktik itu terbukti cukup ampuh menghemat stok air supaya tahan sampai sepekan.
Kami memutuskan hanya menggunakan air di tampungan untuk mandi dan mencuci piring. Sedangkan untuk minum, kami segaja membeli air kemasan galon. Alasannya, kami semua ternyata sensitif terhadap air tampungan. Selama dua bulan di sana, enam dari tujuh mahasiswa yang KKN di Jurug kulitnya gatal-gatal. Berbagai macam obat yang diberikan dokter tak mempan. Penyakit gatal-gatal baru sembuh setelah kami kembali ke rumah masing-masing. Manja sekali ya hehehe.
Nah, kenangan masa-masa KKN tersebut seolah kembali berloncatan ketika saya ambil bagian dalam kegiatan program penyaluran air bersih yang diadakan kantor saya, 12 Oktober lalu. Total ada 120 tangki air bersih yang disumbangkan kepada warga Wonogiri, Jawa Tengah, yang wilayahnya mengalami kekeringan. Sasarannya adalah tiga kecamatan, yaitu Giritontro, Pracimantoro dan Paranggupito.
Jejak-jejak kekeringan terlihat gamblang ketika kami memasuki desa-desa yang jadi sasaran program penyaluran air bersih ini. Pohon-pohon di kanan kiri jalan meranggas. Tanah kering retak-retak karena merindukan kesejukan air. Hijau dedaunan tampak kusam. Warna-warna coklat tanah dan pepohonan benar-benar kontras dengan latar langit berwarna biru indah.
Kami tiba di Desa Gambirmanis, Kecamatan Pracimantor agak terlambat. Seharusnya kami tiba pukul 10.00 WIB, tapi akhirnya molor hingga pukul 12.00 WIB. Kami salah memprediksi estimasi perjalanan menuju Gambirmanis. Jalan menuju Gambirmanis kecil dan berbatu-batu. Mobil tidak bisa berjalan cepat sehingga waktu tempuh menjadi lama. Belum lagi kami tidak bisa menolak ajakan Pak Camat untuk mampir sarapan terlebih dahulu.hehehe
Sesampai di Gambirsari, jeriken-jeriken air sudah berjejer rapi di depan rumah kepala desa. Namun kami tak melihat satu pun warga di sana. Menurut Pak Kepala Desa (saya lupa namanya hehe) warga sebenarnya sudah datang, tapi sudah pulang karena terlalu lama menunggu. Kami kemudian dipersilakan masuk dulu ke rumah beliau. Tak berapa lama kemudian, warga sudah kembali berdatangan.
Rona-rona kegembiraan terlihat di wajah warga ketika air dalam tangki mulai dipindahkan ke jeriken-jeriken. Sambil menunggu proses pengisian air, warga antusias menceritakan kekeringan yang tengah melanda desa mereka dalam tiga bulan terakhir. Sama seperti pengalamanan saya saat KKN di Gunung Kidul, warga Gambirmanis harus membeli air untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Bahkan demi penghematan, kadang mereka mandi hanya dengan mengelap tubuh dengan handuk basah. Itu pun hanya sekali sehari.
“Biasanya kami mandi di dalam ember besar Mbak. Air bilasan mandi sengaja ditampung kemudian digunakan untuk memberi minum hewan ternak,” tutur salah seorang warga, Bu Rinik.
Jika dulu saya dan teman-teman KKN menghabiskan air setangki dalam tempo sepekan, setiap keluarga di Gambirmanis bisa menggunakan air setangki selama sebulan. Harga pasaran satu tangki air di daerah Wonogiri saat ini di atas Rp100.000. Semakin jauh lokasi desa dari sumber air, harga air juga semakin mahal. Uang Rp100.000 mungkin bukan jumlah besar bagi sebagian orang. Namun untuk warga Gambirmanis itu nominal yang besar. Bagaimana tidak, sumber utama penghasilan mayoritas warga Gambirmanis adalah dari menjual gaplek yang kini harganya hanya Rp1.300 perkilogram. Jika dihitung-hitung, mereka perlu menjual sekitar 100 kg gaplek untuk membeli setangki air bersih.
Tak heran, warga sangat girang setiap kali ada tangki bantuan air bersih yang menghampiri desa mereka. Menurut Pak Camat bantuan dari pihak luar cukup banyak. Apalagi saat ini adalah tahun politik. Banyak calon legislatif yang berusaha menarik simpati dengan menyalurkan air bersih ke pelosok-pelosok Wonogiri, termasuk ke Gambirmanis. Selain itu banyak juga sumbangan dari perorangan, organisasi maupun perusahaan swasta. Apa pun motifnya warga selalu menyambut bantuan air dengan gembira. “Di musim kemarau seperti ini, air itu bagaikan madu bagi kami. Rasanya menyembuhkan,” celetuk salah seorang warga.
Cerita-cerita senada juga mengalir dari warga di Paranggupito. Bagi warga di beberapa wilayah di Wonogiri, kekeringan menjadi rutinitas tahunan dan tak bisa dihindari. Kekeringan di wilayah ini malah lebih parah dibandingkan di Pracimantoro. Bantuan yang datang pun minim karena akses menuju ke sana lebih sulit. Berbagai usaha sudah dilakukan warga untuk mencari sumber air, salah satu dengan mengebor tanah. Namun hasilnya masih nihil. “Kami berharap kekeringan ini segera ada solusinya. Semoga ini tahun terakhir desa kami mengalami kekeringan,” ujar seorang warga. Amin, ucap saya dalam hati.
Solo, 17 Oktober 2013
beruntungnya hidup di daerah yang banyak air 🙂
aku hidup dengan air mata om #curcol
hahahhaa asal bukan air mata buaya
wah KKN enak ya bisa jalan2…. aku dulu ga ada KKN
rugi banget mas…KKN tuh super seruuu 🙂
Gak kebayang hidup di daerah yang langka air 😦
Semacam aku kan suka gebyuran dan main air.
Sama dengan mas Danan, jamanku jg ga ada KKN mbak
pokoknya gak bakalan bisa mandi segerrr. Gak enak banget mbak. Waah rugi gak ada KKN, seru abis 🙂
Huhuhu aku pinginnnn ngerasain juga….Belum pernah ngerasain KKN ( Kuliah Kerja Nyata ) 😀
golongan orang merugi berarti lim hahahaha
ga lagi deh buang2 air, suka kesel sama orang yg nyiramin jalanan biar sekedar ga panas pdhl dia buang2 air. wah biasanya kalo kkn ada yg cinlok nih hehe 😛
bener kalau liat yang begini kadang baru nyadar betapa berharganya air. Cinlok? pastinya hahahaha
Baca postingan ini kaya ketampar buat gw yang gak pernah memikirkan bahwa diluar sana masih banyak orang yang membutuhkan air bersih. #save the water
Salam
Travelling Addict
Bener banget…kadang jadi merasa bersalah kalau inget air di kamar mandi sampai meluap-luap karena lupa matiin keran 😦
Salam juga 🙂
Disini airnya diolah lagi jadi air minum
Maksude air laut mas sing diolah kui?
Bukan.air mandi 🙂
ha?? tenane lho?
Suer.. Namanya grey water disini. 🙂
waaah gek rasane piye kui mas?
Sama aja kok mbak. Kapan2 tk tulise. Kudu bludusan neng engine room sik 🙂
ditunggu mas tulisane 🙂