Berjuang Merampungkan PR Besar Dalam Keterbatasan

Hubungan bilateral Indonesia dengan Timor Leste sangat unik. Tidak bisa disamakan dengan hubungan bilateral Indonesia dengan negara mana pun. Saat bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai provinsi ke-27 dengan nama Timor Timur, wilayah tersebut bukan merupakan bekas wilayah Hindia Belanda, seperti provinsi-provinsi yang lain. Awal yang berbeda tersebut kemudian berakhir juga dengan cara tak biasa. Timor Leste merdeka pada 1999 setelah melalui jajak pendapat yang menguras energi lahir dan batin kedua kubu. Banyak keluarga, teman, kolega maupun pasangan kekasih harus berpisah. Saya pun secara tidak langsung merasakan momen emosional tersebut. Om dan Tante serta dua adik sepupu yang sudah bertahun-tahun tinggal di Dili untuk bekerja, terpaksa harus kembali ke Indonesia. Mereka dengan berat hati harus mengucapkan selamat tinggal kepada sahabat, rekan kerja dan semua memori di Dili. Semua itu tercatat lengkap oleh sejarah.

Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai (KPPBC) Tipe B  (Foto diambil dari Panoramio.com)

Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai (KPPBC) Tipe B (Foto diambil dari Panoramio.com)

Jejak keunikan hubungan Timor Leste dan Indonesia masih terlihat sampai sekarang. Tengok saja di daerah perbatasan kedua negara, di Kabupaten Atambua atau lebih tepatnya di Atapupu, Nusa Tenggara Timur. Faktor kekerabatan dan kesamaan adat warga kedua negara membuat karakteristik perbatasan Indonesia-Timor Leste berbeda dengan perbatasan di bagian lain Indonesia. Warga mendapat cukup kemudahan jika ingin melintas perbatasan, terutama untuk menjenguk keluarga yang sakit atau meninggal, saat Natal maupun saat perayaan adat. Warga cukup menitipkan kartu tanda penduduk atau identitas lain di gerbang pemeriksaan. Sangat simpel.

Jejak keunikan yang kedua adalah soal kesenjangan. Untuk menunjukkan perbedaan harus ada pembanding, misalnya perbatasan Indonesia-Malaysia di Entikong, Kalimantan Barat. Sebuah garis batas imajiner di sana menandai ketimpangan, terutama dalam hal sarana dan prasana. Wilayah Serawak di Malaysia didukung infranstruktur jalan mulus dan sarana-prasarana yang lengkap, membuktikan Negeri Jiran tak main-main merawat wilayah perbatasan mereka. Sedangkan warga Entikong harus ikhlas mendapati infrastruktur jalan yang bergelombang dan berlubang, serta sarana dan prasarana yang kalah gemerlap dibandingkan negeri tetangga.

Kondisi seperti itu tak terlihat di perbatasan Indonesia-Timor Leste. Warga Atambua tak perlu menatap iri ke negeri tetangga, karena pada kenyataannya dalam beberapa hal Timor Barat atau Nusa Tenggara Timur lebih unggul. Dalam aktivitas ekonomi, ekspor dari Indonesia lebih dominan daripada impornya. Data yang dirilis Bank Indonesia, sampai dengan akhir 2011, ekspor NTT ke wilayah Timor Leste senilai US$6,43 juta atau 32,57% dari total ekspor NTT. Sementara impor NTT dari Timor Leste pada periode yang sama senilai US$45,04 ribu atau hanya sebesar 0,37% dari total impor. Komoditi ekspor dari NTT ke Timor Leste yang dominan adalah kebutuhan sehari-hari. Tingginya volume ekspor dibandingkan dengan impor dari Timor Leste mengindikasikan ketergantungan negara tersebut terhadap Indonesia cukup tinggi. Itulah bukti lain keunikan perbatasan Indonesia dan Timor Leste.

Namun, di balik keunikan dan keistimewaannya, perbatasan tetap perbatasan. Bertumpuk masalah dan tantangan tak bosan menghampiri. Daerah perbatasan selama ini masih minim perhatian dari pemeritah pusat. Fakta ini sangat ironis. Perbatasan sejatinya adalah sebuah beranda rumah, dalam tataran negara bahkan berfungsi sebagai gerbang kedaulatan. Seharusnya dirawat dengan benar, bahkan diprioritaskan. Pembangunan yang tidak merata, terutama di perbatasan itulah yang akhirnya menyebabkan kesenjangan sosial yang berdampak buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Masalah pun bermunculan, tak terkecuali di Atapupu.

Di antara beragam masalah yang dihadapi Indonesia di perbatasan Timor Leste, penyelundupan dan kejahatan narkotika pantas dikedepankan. Ada indikasi sindikat narkotika yang biasanya menggunakan pintu perbatasan di Kalimantan sengaja membawa narkotika ke wilayah Timor Leste untuk kemudian dibawa ke Indonesia melalui pintu perbatasan di NTT. Belum adanya undang-undang narkotika di Timor Leste menjadikan negara tersebut menjadi sasaran empuk sebagai kota transit narkotika. Dari sana, dipilihlah kurir untuk membawa narkotika dan menyelinap masuk ke Indonesia melalui pintu perbatasan di NTT. Biasanya mereka menggunakan bus travel, kendaraan pribadi, bahkan jika memungkinkan melalui jalur-jalur darat yang tidak berpintu.

Penyelundupan bahan bakar BBM juga tak kalah memprihatinkan. Pelakunya mulai dari perseorangan hingga pengusaha besar, baik warga Indonesia maupun Timor Leste. Maraknya penyelundupan itu dipicu diparitas harga BBM di kedua negara. Harga BBM di NTT hanya setengah bahkan sepertiga dibandingkan di NTT. Berbagai modus penyelundupan BBM muncul. Banyak jip dan mobil-mobil Timor Leste ditengarai memiliki tangki ganda. Mereka sengaja datang ke Atambua untuk mengisi bensin karena harga di Indonesia sangat murah. Modus lainnya dilakukan oleh tukang ojek yang membawa dua atau tiga jeriken sekaligus saat melintas batas. Namun, yang lebih parah tentu saja praktik penyelundupan BBM via laut dari kawasan Atapupu ke Timor Leste. Petugas di Pos TNI AL Atapupu mengaku kerap mendapat laporan adanya kapal Indonesia yang membongkar berton-ton BBM di tengah laut untuk diselundupkan ke Timor Leste.

Permasalahan ini jelas tidak boleh dibiarkan. Penyelundupan–baik BBM, narkoba maupun komoditas lain– bagaikan sebuah fenomena gunung es. Jika dibiarkan, bakal berakibat sangat buruk untuk masa sekarang maupun masa mendatang, terutama masa depan kedaulatan ekonomi bangsa ini. Masyarakat juga yang nantinya bakal menjadi korban. Pada titik inilah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) berperan vital. Bagi DJBC mengatasi penyelundupan adalah PR besar dan bagai musuh abadi yang sulit, tapi harus ditumpas. Dan itu memang menjadi salah satu tugas utama DJBC, yaitu melindungi ekonomi Indonesia di perbatasan negara, tak terkecuali di NTT-Timor Leste.

Gebang Perbatasan Indonesia dan Timor Leste (foto Panoramio.com)

Gebang Perbatasan Indonesia dan Timor Leste (foto Panoramio.com)

Untuk menunjang misi melindungi kedaulatan ekonomi Indonesia di perbatasan Timor Leste, DJBC mendirikan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai (KPPBC) Tipe B di pelabuhan Atapupu, sekitar 34 km dari pusat kota Atambua. KPPBC ini memiliki lima kantor vertikal yakni kantor bantu yang berada di Motaain, Metamauk, Kalabahi, Wini dan Napan yang jaraknya sekitar 130 km dari Atapupu.

Tugas yang diemban KPPBC Atapupu cukup berat, seperti pelaksanaan intelijen, patroli, penindakan dan penyidikan di bidang kepabeanan dan cukai; serta pengelolaan dan pemeliharaan sarana operasi, sarana komunikasi, dan senjata api; dan pelaksanaan pemungutan dan pengadministrasian bea masuk, bea keluar, cukai, dan pungutan negara lainnya yang dipungut oleh Direktorat Jenderal. Namun seperti pernah diungkapkan Ditjen Bea Cukai beberapa waktu lalu, di daerah perbatasan fungsi pengawasan lebih diprioritaskan daripada penerimaan. Petugas Bea dan Cukai harus bekerja ekstra keras menjalankan fungsi pengawasan untuk meminimalisir berbagai pelaggaran.

Tantangan bertambah besar karena rekan-rekan Bea dan Cukai di perbatasan Indonesia-Timor Leste harus berdamai dengan segala keterbatasan. Kondisi infrastruktur jalan belum memadai, alat transportasi minim, cakupan wilayah kerja cukup luas dengan jumlah pegawai serta sarana dan prasarana terbatas. Namun dengan segala keterbatasan tersebut, KPPBC Atapupu tetap semangat berjuang. Keterbatasan bukan alasan untuk menyerah. Contohnya dalam memerangi penyelundupan narkoba. KPPBC di Atapupu belum dilengkapi dengan pendeteksi narkotika yang modern. Petugas Bea Cukai yang bekerja sama dengan aparatur Polri dan BNN hanya dibekali data intelijen terkait orang-orang yang dicurigai karena menunjukkan gerak-gerik mencurigakan saat melintas. Sarana komunikasi juga sangat minim. Karena itu, dalam pelaksanaan tugasnya mereka hanya mengandalkan data intelijen dari petugas kepolisian dan BNN serta insting dan kemampuan membaca gerak-gerik bahasa tubuh seseorang.

Namun dengan segala kekurangan itu, petugas Bea Cukai di Atapupu berhasil menggalkan empat kali penyelundupan narkotika berbagai jenis sepanjang 2012. Mereka membuktikan keterbatasan sarana tidak menjadi alasan untuk melemahkan operasi penjagaan di pintu perbatasan antarnegara. Sedangkan penyelundupan BBM juga terus diminimalisir dengan memperketat pengawasan. Tapi harus diakui, penyelundupan—baik BBM maupun yang lain—sangat sulit diberantas, alias masih terus terjadi.

Lalu, apa solusi untuk permasalahan ini? Ada dua cara yang mungkin bisa ditempuh, yaitu melakukan terobosan di internal dan mempererat kerja sama dengan pihak terkait di luar institusi Bea Cukai. Terobosan internal salah satunya dengan membenahi mental para pegawai Bea Cukai itu sendiri supaya bekerja profesional. Bersihkan dari ”pegawai nakal” yang malah berpotensi menyuburkan berbagai penyelundupan. Kebijakan ini dengan memperkuat Undang-Undang tentang Kepabeanan. Sanksi terhadap pelaku penyelundupan serta ”pegawai nakal” perlu diperberat dan tanpa pandang bulu, supaya menjadi efek jera.

Mempererat kerja sama dengan kepolisian dan Badan Narkotika Nasional (BNN), serta pemerintah setempat juga penting untuk menekan angka penyelundupan. Jangan sampai institusi-institusi tersebut berjalan sendiri-sendiri karena justru hasilnya kurang maksimal. Yang juga tak boleh dilupakan adalah merangkul masyarakat. Peran masyarakat bakal sangat vital dalam penegakan kedaulatan ekonomi di perbatasan, terutama menyangkut penyelundupan. Informasi dari warga terkait aksi penyelundupan bakal sangat membantu pekerjaan Bea Cukai maupun aparat keamanan. Intinya semua punya tanggung jawab yang sama besar untuk menyelesaikan masalah di perbatasan. Jangan sampai malah saling melempar tanggung jawab. Kedaulan di perbatasan adalah kedaulatan kita bersama.

Solo, 5 Mei 2014

Tulisan ini diikutsertakan dalam “BLOGGER COMPETITION FOR PRESSTOUR DJBC 2014”

Sumber tulisan :

Rilis Bank Indonesia : Kajian Ekonomi Regional

Kppbcatapupu.blogsport.com

Fungsi Pengawasan Dominan di Perbatasan

Berita dari Kemenkeu

Melirik Pelabuhan Atapupu Sebagai Alat Investasi

Penegakan Hukum di Perbatasan Lemah, Penyelundupan Makin Marak

Mengandalkan Insting Menjerat “Tikus“ Narkotika

Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perbatasan

Para Pelintas Gelap di Perbatasan Timor Leste

About yusmei
Tergila-gila dengan membaca dan menulis...Punya mimpi menelusuri sudut-sudut dunia

24 Responses to Berjuang Merampungkan PR Besar Dalam Keterbatasan

  1. Moersalin says:

    Sangat informatif…

  2. nyonyasepatu says:

    Semoga menang yaaa yus dan tulisannya bagus banget

  3. Bacaan pagi yg berat, hahaha.

    Daripada menyelundupkan BBM, mending menyelundupkan Whatsapp atau Line aja ya mbak *eh *bukan itu ya*

  4. Rahmat_98 says:

    Kebetulan teman saya juga mengalami nasib seperti yang mbak tuliskan. Kedua orang tuanya menjadi warga TL sedangkan beliau karena bekerja dan menjadi mahasiswa akhirnya memilih menjadi warga RI….

    Tulisannya sangat informatif, semoga menang mbak…

    • yusmei says:

      Memilukan ya mas, keluarga yang harus terpisah oleh garis batas seperti itu. Kalau saudara saya, yg paling memgalami shock culture adik2 sepupu, terutama soal pendidikan. Kualitas pendidikannya jauh. Jadi harus susah payah mengejar. Makasih doanya mas :))

  5. Halim Santoso says:

    Berat nih materinya hehe…
    Pernah ke perbatasan Papua-PNG di Wutung, Jayapura yg kondisinya kurang lbih sama, ada derita di balik kemegahan gerbang perbatasan 🙂

  6. chris13jkt says:

    Wah termasuk bacaan yang serius nih Yus, tapi pemaparannya cukup jelas.
    Mudah-mudahan menang ya.

  7. Kereeenn bingit mba yusss, mba yus jurnalis yaa ?

  8. eh pemenang nya udah di umumkan yaaa

  9. dee nicole says:

    jadi inget filmnya alenia “tanah air beta” sama filmnya herwin novianto “tanah surga..katanya”. sama2 bersetting perbatasan negara,dan kesenjangan sosial timor leste dan indo-malay.
    di timor pada nyelundupin bbm,di malay pada nyelundupin naker ilegal.
    soal tanki ganda,ada parodinya di tanah air beta. waktu sang penjual eceran bensin dilarang beli pakai jerigen,dia lalu memodif tanki motornya jadi superjumbo. mungkin si ari sihasale dapat ilham dari para penyelundup bbm itu.
    DJBC selama ini terlalu fokus ke pelabuhan gede. Itupun masih bisa main mata dg oknum petugas. Semua kembali ke hati masing2. Pilih harta atau kedaulatan negara. Dan tak sedikit pemilih yang pertama.
    Ngomong2..lg nyesek ni mbak. Pertama kalinya sejak 1990 nggak nyantol kejuaraan eropa satupun… T.T

    • dee nicole says:

      eh…ft instagramme karo sopo hayooo..anake ra lilo ketok’e :p

    • yusmei says:

      Itulah mas, perbatasan yang seharusnya mendapat perhatian lebih, malah seolah jadi anak tiri. Ya kadang dengan kondisi yang sulit, orang pilih “menggadaikan” kebanggaan terhadap negara,
      Iyo mas podo nyesek, tapi piye meneh. Ayo optimis musim depan pasti lebih baik 🙂

  10. Ceritaeka says:

    Perasaaan aku udah kmen di postingan ini tapi kok nggak ada ya? 😐
    PR Bea cukai emang banyak >.< btw good luk, semoga menang!

Leave a reply to Halim Santoso Cancel reply