Bubur India Khas Masjid Pekojan
July 17, 2014 21 Comments
Saya menatap tak percaya ke layar handphone. Sudah jam 5 sore? What! Langsung saya membangunkan Azizah yang masih tidur pulas. Kami langsung panik. Rencana keluar penginapan pada pukul 16.30 WIB supaya bisa leluasa mencari takjil berantakan sudah. Embusan udara sejuk dari AC di penginapan benar-benar membius, ditambah badan memang agak lemas karena sedang berpuasa. Suara alarm gagal membuat kami melek kami pada jam 4 sore. Rifqy yang tidur di kamar sebelah juga tak berinisiatif untuk membangunkan kami. Hasilnya adalah kekacauan kecil ini.
Sekitar 15 menit kemudian, kami bertiga berjalan kaki meninggalkan penginapan yang terletak di kawasan Pecinan Semarang. Tujuan utamanya mencari makanan berbuka puasa di Masjid Jami Pekojan. Azizah merekomendasikan menu buka puasa yang menarik. Bubur India khas Masjid Pekojan.
Untungnya masjid yang hendak kami tuju letaknya tak terlalu jauh dari penginapan. Masjid ini berlokasi di Jalan Petolongan I, Kelurahan Purwodiningratan, Semarang. Setelah berjalan kaki sekitar 10 menit, sampailah kami di masjid tersebut, yang tersembunyi di salah satu gang kecil di kawasan Pecinan. Puluhan orang sudah memenuhi bagian dalam masjid sambil bersalawat. Kami memilih duduk di serambi paling belakang. Saya kemudian mengedarkan pandangan dengan penuh rasa penasaran.
Mangkuk berwarna-warni sudah ditata di serambi masjid, termasuk di hadapan kami. Setiap mangkuk ditata sepaket dengan segelas teh tarik dan piring kecil berisi kurma dan buah. Nah, mangkuk berwarna-warni itu berisi bubur India yang jadi menu buka puasa andalan Masjid Pekojan. Bubur dicampur dengan sayur berkuah dan dilengkapi telur rebus. Sekilas malah mirip nasi liwet khas Solo. Tapi yang ini warna kuahnya kemerahan. Porsinya banyak. Saya dan Azizah sepakat makan semangkuk berdua saja.
Beberapa menit sebelum adzan Maghrib berkumandang, para jemaah merapat ke serambi samping, tempat mangkuk-mangkuk sudah ditata rapi. Pengunjung yang datang beragam, ada anak kecil, remaja, ibu-ibu, bapak-bapak, sampai kakek-kakek dan nenek-nenek. Dalam hitungan menit, suara adzan terdengar. Bubur India pun langsung disantap para jemaah, plus teh tarik dan kurma yang sudah disediakan. Dalam sekejap sejumlah mangkuk langsung ludes isinya. Sedangkan saya dan Azizah butuh waktu lama menandaskan isi mangkuk kami. Itupun akhirnya tidak habis.
Bagaimana rasa bubur India khas Masjid Pekojan? Menurut analisis lidah saya yang kurang lihai dalam menilai makanan, bubur berbahan baku beras ini sekilas rasanya seperti “bubur lemu” atau “bubur ndeso” di wilayah Solo. Rasanya gurih, tapi cita rasanya beda dengan bubur ayam khas Jakarta. Sore itu bubur dilengkapi dengan sayur jipang yang agak pedas. Jenis sayuran yang disajikan katanya selalu berganti setiap harinya. Resep dan rasa bubur India konon tidak berubah sejak sekitar dua abad silam. Bubur dilengkapi dengan rempah-rempah yang terdiri atas jahe, lengkuas, serai, daun salam, daun pandang, kayu manis, wortel, bawang merah dan bawang putih. Infonya sih begitu. Soal kebenarannya entahlah, maklum saya bukan Farah Quinn.
Setelah menandaskan bubur India, tanpa dikomando para jemaah membawa piring dan gelas masing-masing menuju pojokan masjid. Mereka bergegas berwudhu untuk Salat Maghrib berjamaah. Kami pun melakukan hal yang sama. Perut kenyang, salat pun jadi lebih khusyuk (bohong ding) .
Nah, sekarang waktunya mencari informasi tentang bubur India. Seusai salat saya dan Azizah menghampiri seorang pria berbaju hitam dan berkopiah yang sedang sibuk membereskan piring-piring kotor di pojokan masjid. Pak Ari namanya. Dari Pak Ari kami mendapat sedikit informasi tentang bubur India yang sudah menjadi hidangan berbuka puasa di Masjid Pekojan sejak sekitar dua abad silam. Setiap harinya pengurus masjid mengolah sekitar 15 kg hingga 20 kg bubur India. Dananya berasal dari para donatur masjid. Bubur India disajikan setiap hari selama bulan Ramadan, tanpa jeda.
Menurut Pak Ari, bubur India dimasak mulai pukul 13.30 WIB hingga pukul 14.00 WIB. Proses memasaknya pun masih sangat tradisional, dengan panci besar dan tunggu yang menggunakan bahan bakar kayu. Pak Ari sempat menunjukkan panci yang biasa digunakan untuk memasak bubur yang diletakkan di samping masjid. Sayang sekali, kami tidak sempat melihat langsung proses pembuatannya. Nah, setelah matang, bubur itu mulai dibagikan seusai Salat Asar. Biasanya pengunjung, yang mayoritas adalah warga sekitar ditambah pendatang dari wilayah lain, sudah antre sembari membawa wadah sendiri. Jumlah peminat bubur ini biasanya lebih dari seratusan orang. Selain untuk para warga sekitar, bubur juga disediakan untuk jamaah yang memilih berbuka bersama di masjid.
Menu buka Bubur India sendiri berawal dari kebiasaan para pendiri Masjid Pekojan yang berasal dari Gujarat. Penduduk sekitar menyebut mereka sebagai orang-orang India. Mereka punya kebiasaan mengawali berbuka puasa dengan makan bubur. Bubur buatan mereka akhirnya dinamai bubur India. Ada juga yang mengistilahkan dengan bubur koja. Pembagian bubur secara gratis tersebut konon menjadi perekat antar etnis di Kampung Pekojan. Setidaknya ada empat etnis yang hidup wilayah tersebut yaitu Jawa, India, Arab dan China.
Selain cerita tentang bubur, Masjid Pekojan juga menyimpan berbagai cerita menarik. Masjid ini sudah berumur lebih dari 200 tahun. Masjid yang berdiri di atas tanah wakaf pemberian saudagar India, Khalifah Natar Sab, ini pada awalnya hanyalah sebuah musola kecil. Mushala ini kemudian dipugar oleh panitia utama masjid yaitu para habib seperti H Muhammad Ali dam H Muhammad Asyari Akhwan pada tahun 1309 Hijriah atau 1878 Masehi. Setelah itu masjid beberapa kali dipugar tetapi dengan tetap mempertahankan keasliannya.
Kisah menarik lainnya adalah mengenai nama Jalan Petolongan I. Konon nama jalan tersebut diambil dari kisah seorang keturunan Nabi Muhammad SAW yaitu Syarifah Fatimah binti Syekh Abu Bakar yang wafat pada 1290 Hijriah. Konon beliau memiliki kemampuan menyembuhkan penyakit alias suka ”menolong”. Dari kata menolong itulah lahir nama petolongan. Syarifah Fatimah tidak menikah dan dimakamkan di masjid Pekojan ini.
Tak disangka, Masjid Pekojan yang tersembunyi di sebuah jalan kecil tersebut menyimpan sejarah yang panjang. Tak sia-sia rasanya menyempatkan mampir ke sana akhir pekan lalu, tepatnya 12 Juli 2014. Tapi, bagi saya makan bubur itu kenyangnya semu. Jadi kami tetap harus berburu ”makanan berbuka yang sebenarnya.” Mumpung cuaca Semarang cukup bersahabat, tak ada salahnya memanjakan lidah kan? Yuks…
Semarang, 12 Juli 2014
Waaahhh, mirip2 masjid sebelah rumah saat Ramadhan yang sering bagi2 bubur juga. Hanya saja kalo disini, buburnya bercitarasa timur tengah, makanan khas keturunan Arab.
Kapan2 mau nyicipin mbak..:). Kalau di solo ada juga masjid yang gini, tapi hidangannya bubur samin khas Banjarmasin mbak
Bubur samin? Yg kayak gimana itu mbak? *belum bisa gugling*
aku juga belum pernah ngicipin mbak hahaha. halim tuh yang udah nyobain. Katanya masaknya pake minyak samin gitu…rasanya belum tahu hihi
masjid darussalam,kidul singosaren mbak. bubur samin,kurma ama kopi susu di cangkir seng. abis tarawih takjilannya macem2 tapi tetep pake kopi susu. tarawih 23 rakaat.
burdah tiap selasa malam. hadrah jg ada. rias manten ala banjarmasin juga.mandiin jenazah sampe tahlilan juga ada. satu komplek sama tk,sd,smp. satu jamaah dg habib anis dan habib husein pasar kliwon.
denger2 blusukan solo minggu kemaren kesana. nyesel ga bisa nyambut mereka mampir.
kawasan pecinan semarang tu yg daerah pedurungan itu?
Aku meh ke sana durung sempat mas, angel waktune, pas wayah deadline soale. Wah ternyata ada rias manten, hadrah dsb ala Banjarmasin ya, Menarik banget. Iya mas, minggu kemarin teman-teman Blusukan ke sana.
Pecinan ki Pedurungan dudu ya, aku ra mudeng mas hihihi
Masjidnya cakeppp >.<
Gela pisan nggak ikut kalian Nyemarang huhuhu *pamer bubur Banjar Jayengan*
Oh iya mbak, itu makam siapa yang ada di halaman masjid?
hihi dibilangin ikut ke semarang aja. aku rencana pengin ke semarang lagi lim, mo khusus ngubek-ngubek kawasan pecinan…kayaknya seruuu. Makamnya Syarifah Fatimah lim
Ikuuttt yen nyemarang lagi, weekday lbih baik ben nggak kemruyuk hihi
kalau weekday aku sama zizah yang gak bisa hahaha
Mbok aku diajari nulis kak
Barter,…aku diajari motret ya…jo lali upetine 🙂
haha..bener banget..bubur kenyangnya semu..cuma bentar trus lapar lagi..
Kenyang kamuflase *orang Indonesia banget hahaha
Nama daerahnya sama kayak yang di Jakarta ya kak, Pekojan. 😀
Pas diajak ke sini aku juga langsung ingat yang di Jakarta di. tapi yang di Jakarta belum pernah ke sana 🙂
Suka lihat pintu masjidnya, kelihatan antik gitu.
Soal buburnya, itu bentuknya seperti bubur sumsum ya Yus?
Bukan seperti bubur sumsum pak, malah seperti bubur ayam. Lebih tepatnya mirip dengan bubur lemu khas Solo. Rasanya juga mirip banget 🙂
menarik.
pekojan jika di daerah lain juga disebut dengan kauman. kaum merujuk pada pemimpin agama yang waktu itu rata-rata orang arab dan tinggal di dekat masjid.
yang membuat aku penasaran apakah bubur india ini sama dengan Daliya yang terkenal di negara sana? tampaknya lezat..
Nah itu aku gak bisa jawab chan, belum pernah nyicip Daliaya. tapi kayaknya bubur india ini sudah berakulturisasi dengan budaya Jawa. Rasanya mirip jenang lemu
Pingback: Wow! Sudah 1 Abad Lebih, Tradisi Bubur India Ini Masih Ada Di Indonesia - Moodster