Rambut Gembel, Antara Rezeki dan Cobaan
December 19, 2014 49 Comments
Perhatian saya tersedot oleh polah tingkah Nafis. Layaknya seorang bocah, dia sangat lengket dengan ibunya, Mbak Qod. Nafis terus duduk di pangkuan ibunya. Matanya tekun memandang ke layar LCD saat pemutaran film dokumenter tentang ritual cukur rambut gimbal anak-anak Dieng. Sesekali dia merebahkan kepala ke dada sang ibu. Mungkin disergap bosan. Saat Mbak Qod mengambil camilan tempe kemul dan kacang godog yang dihidangkan di meja, Nafis minta disuapi.
Saya bertemu Nafis di Pendopo Soeharto-Whitlam, Dieng, bersama 19 Travel Blogger dari berbagai daerah yang diundang mengikuti Fam Trip oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah, 5 Desember lalu. Sekilas penampilan nafis tak beda dengan anak-anak sebayanya. Hanya rambutnya panjang tak teratur. Kulit wajahnya kemerah-merahan khas orang yang tinggal di pegunungan. Sepintas mirip orang Mongolia. Ketika diamati dari dekat, keunikan Nafis baru terlihat. Sebagian rambutnya berwarna kemerah-merahan dan gimbal. Ingat rambut anak-anak rasta? Mirip seperti itulah rambut Nafis, namun lebih alamiah.
Masyarakat Dieng menyebut bocah seperti Nafis tersebut sebagai anak berambut gembel. Menurut pemangku adat masyarakat Dieng, Mbah Naryono, anak gembel adalah titipan dari Samodro Kidul. Setidaknya itulah yang diyakini masyarakat Dieng, suatu kayangan tempat bersemayamnya para Dewa. ”Punya anak berambut gembel ada yang bilang rezeki, ada juga yang bilang cobaan,” cerita Mbah Naryono dengan logat ngapaknya yang kental dan kemudian diterjemahkan Mas Alif Faozi, tokoh Pokdarwis Dieng Pandawa Desa Wisata Dieng Kulon.
Ya, mayoritas warga adat Dieng meyakini jumlah anak berambut gembel berkorelasi dengan kesejahteraan masyarakat. Jika jumlahnya makin banyak, masyarakat juga semakin sejahtera. Itu keyakinan mereka. Namun, dikaruniai anak berambut gembel juga menjadi cobaan tak mudah. Emosi anak berambut gembel sangat labil, juga sering sakit-sakitan. Saat marah, rambut gembel sang anak kadang bisa berdiri tegak. Kalau punya permintaan juga harus dituruti saat itu juga. Kesabaran orang tua sangat diuji. Begitu yang terjadi pada Nafis.
Seperti anak-anak berambut gembel lainnya di Dieng, rambut Nafis awalnya tumbuh normal. Rambut gembelnya baru muncul saat dia berusia dua tahun. ”Saya ikut ruwatan di sini (Dieng). Ketika ada yang diruwat tiba-tiba saya nangis. Saya bertanya-tanya gimana jika anak saya juga dipotong rambutnya seperti itu. Dua bulan kemudian anak saya berambut gembel,” kata Mbak Qod menceritakan awal Nafis berambut gembel.
Fenomena anak berambut gembel sudah ada di Dieng sejak lama. Tak ada yang tahu kapan anak berambut gembel pertama kali ada di sana. Siapa pun bisa berambut gembel, kaya atau miskin, lelaki maupun perempuan. Berbagai penelitian yang melibatkan banyak universitas sudah dilakukan untuk menyelidiki fenomena rambut gembel di Dieng. Tapi hasilnya masih jauh dari terang benderang. Orang Dieng pun tidak berani terlibat terlalu dalam dalam penelitian-penelitian tersebut. Seperti yang dituturkan Mbah Naryono. Untuk mendukung penelitian, masyarakat Dieng kerap kali harus menyerahkan cukuran rambut gembel si anak. Tentu saja permintaan ini sulit dikabulkan. Masyarakat Dieng meyakini rambut anak gembel yang sudah dicukur harus dikembalikan ke Samudro Kidul dengan cara dilarung lewat Telaga Warna.

Menyaksikan pemutaran film ritual potong rambut gembel. Nuriya (memakai jilbab) anak yang dulunya juga berambut gembel, tapi sudah ruwatan potong rambut
Lalu kapan rambut gembel dicukur? Warga Dieng percaya rambut gembel harus dipotong sebelum si anak beranjak dewasa. Hal-hal kurang baik akan mengikuti kehidupan sang anak jika rambut gembel dibiarkan terus tumbuh sampai usianya dewasa. Waktu memotongnya juga tak bisa sembarangan. Harus menunggu si anak minta dengan sendirinya. Jika sang anak belum meminta, rambut gembel akan terus tumbuh meskipun berkali-kali dipotong. Selain itu, orang tua juga harus memenuhi permintaan si anak yang disebut mahar. Mahar biasanya diucapkan si anak saat bangun tidur. Ditanya berulang-ulang pun jawabannya sama. Mahar yang diminta sangat beragam. Ada yang menuntut dibelikan sepeda, ayam, mobil-mobilan, dan lain-lain. Sri Nuriya, gadis cilik yang saat itu juga datang bersama Nafis, meminta kambing sebagai mahar ruwatan. Permintaan tersebut dikabulkan oleh orang tuanya dan ruwatan digelar. Kini rambut Nuriya tumbuh lurus dan dia tak lagi sakit-sakitan.
Si kecil Nafis meminta mahar yang unik dan sederhana. Es lilin tepatnya. Uniknya es krim itu harus dibelikan oleh Mbak Iti, istri Mas Alif. Dia tak mau dibelikan oleh orang lain. Permintaan yang sesungguhnya mudah dikabulkan, sayangnya Nafis belum minta potong rambut. Ritual pun belum dapat dilaksanakan. Jika mahal tak dipenuhi, ruwatan potong rambut diyakini bakal sia-sia. ”Dulu ada yang minta ular kendang, orang tuanya susah memenuhi. Ada lagi yang minta sepeda motor dari Kapolda Jateng, juga belum dapat dipenuhi,” kata Mas Alif.
Ruwatan pemotongan rambut gembel dahulu dilakukan secara pribadi. Sejak 2002 ruwatan digelar massal, bertempat di Candi Arjuna. Kegiatan ruwatan massal menjadi salah satu agenda kegiatan Dieng Culture Festival. Pada tahun 2015 acara tersebut digelar pada tanggal 1-2 Agustus. Sebelum ruwatan, Mbah Naryono harus melakukan ritual khusus di 20 tempat. Anak-anak gimbal kemudian dimandikan dengan air dari tujuh mata air, diarak dan dilempari beras kuning dan uang koin, lalu rambutnya dipotong oleh pemuka adat. Potongan rambut akhirnya dilarung di Telaga Warna.
Tak semua anak berambut gembel mengikuti ruwatan massal. Keluarga yang mampu secara finansial bisanya menggelar ruwatan pribadi. Yang terpenting semua syaratnya terpenuhi. Jika ada syarat yang terlewatkan bukan tak mungkin rambut gembel akan kembali muncul. Repot kan kalau nongol lagi? ”Di setiap RT di sini, ada dua hingga tiga anak berambut gembel. Satu desa sekitar 20 anak. Tak ada yang bisa menebak mana anak yang rambutnya berubah jadi gembel,” ucap MasAlif.
Sebuah pertanyaan terus berputar-putar di benak saya. Benarkah fenomena rambut gembel di Dieng ini tak bisa dijelaskan secara ilmiah? Apakah benar ada campur tangan ”Dewa” yang diyakini masyarakat setempat bersemayan di Dieng? Apa pun jawabannya, keberadaan anak berambut gembel adalah bagian tak terpisahkan dari tradisi masyarakat adat Dieng. Biarlah tetap begitu. Kita hanya perlu menghormatinya.
Baca Juga :
Bermain Sambil Belajar di Perkebunan Teh Tambi
Visit Jateng: Anak Gimbal dan “Warna” Telaga Warna
Pondok Wisata Tambi: Tempat Bermalam di Tengah Kebuh Teh
From Plant to Pot : Tambi Tea Plantation
Main-Main Serius di Perkebunan Teh Tambi
Lebih Dekat dengan Anak Berambut Gimbal Dieng
Keajaiban Anak Gimbal di Dieng
Kumpul Travel Blogger di Wonosobo
Mencari Hangat dalam Semangkok Mie Ongklok
Mengenal Jawa Tengah Bareng Travel Blogger
ayo Piknik, Jangan Kayak Orang Susah
Kisah Kyai Kolodore dan Rambut Gimbal di Kalangan Masyarakat Dieng Plateau
Dieng, 5 Desember 2014
Pingback: Kumpul Travel Bloggers di Wonosobo
ITU KENAPA KITA JADI KAYA FOTO KELUARGA???
*salim sama kokoh* | *maaf ya koh*
Hahaha iyo ya lagi nyadar. Untung bocahe mung siji, nek 2 dikirain iklan KB
ayo segera bikin klarifikasi biar yang yang disana gak salah paham 😛
klarifikasi apaaan? Hahaha
Pingback: Ayo Piknik, Jangan Kaya Orang Susah
Fotomu nggendong anak wis jan pantes tenan mbak mei :p
Hihihi yowis doain ya mas
Pingback: Telaga Warna dan Pengilon Bukit Sidengkeng | Langkah Baruku
wahh ada fahmi 🙂
Fahmi mah ada di mana2 non, raja narsis dia *trus dijewer fahmi
Pingback: Bermain Sambil Belajar di Perkebunan Teh Tambi | Alid is Little
Pingback: Empat Kuliner Wajib Wonosobo | Alid is Little
Pingback: Wisata Jawa Tengah: Keajaiban Rambut Gimbal di Dieng | Sang Vectoria Jenaka
Klo aku gembel aku bakalan minta tiket ke turki mbaaaakkk,,, eh iya kenapa kita kayak foto keluarga hahaha
Untuuuung kamu gak lair di dieng dan gembel, bisa2 orang tuamu bangkrut! Foto keluarga? Mosok suamiku 2 hahaha
Setuju, mbak! Respect! 🙂
Tosss…hormati tradisi mereka :))
Pingback: From Plant to Pot: Tambi Tea Plantation - Discover Your Indonesia
Setiap nyimak cerita soal anak berambut gembel, langsung ngebayangin mereka ini keramasnya gimana ya? Pake shampo apa? trus rambutnya bisa disisir apa enggak?
Seperti biasa mbak, paragraf penutupmu kereeeeen :’)
Eh kemarin juga dibahas tuh mbak, tp lupa gak ditulis. Mereka keramas kok seperti biasa dan pake shampo juga, tp ya rambutnya tetep kayak gitu 🙂
Wuih, ternyata tulisanku akeh sing salah. Maklum diriku gak begitu menyimak kemarin itu. “20 tempat” aku krungune “20 empat = 24”. Hahahaha. Oke saatnya mengoreksi.
Haha beti (beda beda tipis) antara 20 tempat sama 24 masndop..dimaklumi 😀
Iyo. Wis tak koreksi kok. Lagian diriku emang gak googling disik. Ngandalne twit #famtripjateng on locationku biyen kae haha.
Pingback: janji kelak menuju dieng | tindak tanduk arsitek
Foto keluarganya bagus dan serasi, Mbak. Benar deh.
Memang hal yang begitu sulit dijelaskan secara ilmiah kadang hal-hal sederhana dari prinsip teologis :hihi.
Haduh jangan itu suami orang haha. Iya, kalaupun akhirnya bisa dijelaskan secara ilmiah dan masyarakat dieng tetap punya keyakinan sendiri, kita harus menghormatinya 🙂
Yep :))
Pingback: Perjalanan Manis Buah Carica | Jejak BOcahiLANG
Foto keluargamu sungguh membuat kehebohan, mbak… semoga yang di Medan nggak panas hati pas baca ini hahahaha.
Haha foto keluarga yg aneh, anaknya gak mirip blas dengan “emaknya” dan “babenya”
Adik kecil rambut gimbal di atas nggemesin banget ya. eh iya sebenarnya aku penasaran sama fenomena tersebut, udah ada belum sih penjelasan ilmiahnya, biasanya kan setiap fenomena2 unik ada penjelasan ilmiahnya 🙂
Katanya sudah ada penelitian-penelitian, tapi ya itu hasilnya belum tahu, Dosen UNS katanya juga pernah neliti, kapan-kapan pengin cari tahu kayaknya 😀
Aku pikir past ada penjelasan ilmiahnya soal rambut gembel ini, Mbak. Entah karena faktor DNA atau perawatan selama dalam kandungan. Hanya saja mungkin belum ada lembaga yang berkompeten dalam bidang ini maumenerjunkan diri
Nah kemungkinan memang ada sih penjelasannya ilmiahnya. Tapi kalau masyarakat adat Dieng tetap meyakini hal itu sebagai sesuatu yang berbeda, kita hanya perlu menghormatinya kan? 😀
seru nih…. menyenangkan sekali.
Iya..seru dan informatif 🙂
Memang cukup unik rambut gimbal orang2 di Dieng ini.
Salahsatu dr sekian banyak bukti dari kuasa-Nya.
Mungkin ada penjelasan ilmiahnya. tapi apapun itu, memang fenomena itu bukti dari kuasa-Nya mas. Makasih dah mampir mas capung 😀
Pingback: Mengenal Teh Tambi, Racikan Teh dari Tanah Terbaik | Against the Distance
si Nafis kalau diamat-amati kok mukanya mirip2 gitu ya mbak sama kamu, huehehe 😀
Haha mirip apanya. Brarti mukaku kayak orang mongolia dong 🙂
Baru tahu kalau punya rambut gimbal itu ribet. Dulu kupikir orang yg punya rambut gimbal itu gak pernah mandi. Ternyata sering shampoan juga toh. Oya Mbak, gimbal itu artinya gembel ya?
Gembel sama gimbal sama mas. Cuma masyarakat Dieng lebih familier nyebutnya gembel
Huaaaa.. kayanya waktu itu aku udah komen.. >.<
Kok ga ada kok ga ada. 😦
Duuh, kayaknya memang belum ada komen kak. Mungkin komen trus gagal, ya siap tahu blog-nya lelah :)))
Judulnya bagus! Setelah baca artikel ini, aku juga jadi sadar kalau aku salah denger hahaha.. Aku kira dilarungnya bukan di Telaga Warna, tapi di laut..
Haha maklum kak banyak banget yg harus didengar dan dicatat, kayak kuliah 4 sks. Haha. Makasih udah suka judulnya 😀
Pingback: Mencari Hangat dalam Semangkok Mie Ongklok | Males Mandi