Roti Go: Kisah Biang, Oven Kuno, dan Perjalanan 117 Tahun

Menyambangi tempat kuliner legendaris selalu lebih menggoda minat saya dibanding menjajal tempat makan kekinian. Ketertarikan ini tak melulu dipicu urusan cita rasa makanan. Lidah saya tak ahli menilai detail makanan. Hanya tiga kategori yang saya pahami, makanan tidak enak, enak, dan enak sekali. Urusan bumbu, komposisi makanan, atau kadar kalori, sama sekali buta. Asalkan makanan terasa enak di lidah, perut kenyang, maka hati pun senang.

Namun, tempat kuliner legendaris menawarkan sesuatu yang istimewa. Ada cerita menarik di balik makanan yang tersaji. Perjuangan, cinta, kesabaran, konsistensi, kenangan, dan kadangkala terselip kisah pengorbanan. Makanya, saya selalu berusaha menyempatkan diri mampir ke tempat makanan legendaris jika sedang melakukan perjalanan.

Seperti saat memutuskan menghabiskan akhir pekan di Purwokerto, Juni lalu. Saya langsung teringat pernah membaca dua lembar artikel tentang kota tersebut di sebuah majalah perjalanan. Benar saja, setelah membongkar-bongkar rak buku ketemu juga artikel yang dimaksud. Majalah tersebut merekomendasikan beberapa tempat yang bisa dikunjungi di Purwokerto.


Nah, ada satu yang langsung memancing rasa penasaran: Roti Go. Toko roti itu disebut-sebut tertua di Indonesia. Usianya 117 tahun! Di tengah gempuran modernitas, toko ini masih lestari. Resep turun temurun dipertahankan demi menjaga kualitas dan tali memori.

Bersama dua teman seperjalanan, Azizah dan Farida, serta dipandu rekan dari Purwokerto, Pungky Prayitno, kami akhirnya benar-benar mampir ke toko Roti Go untuk melunasi rasa penasaran. Lokasinya di jantung kota, tepatnya di Jl. Jenderal Sudirman No. 724 Purwokerto.  Bangunannya tak terlalu mencolok, namun terlihat klasik dan bersih. Interiornya juga sederhana, tak jauh beda dibanding toko roti lainnya. Namun, histori yang tersimpan di dalamnya membuat toko Roti Go menjadi sangat spesial.

Sore itu kami disambut hangat pemilik toko, Pak Pararto Widjaja.  Sembari melayani pembeli dari balik meja kasir, Pak Pararto menggulirkan rangkaian cerita tentang toko yang dikelolanya. “Sebenarnya lebih pas jika yang bercerita istri saya. Dia adalah keturunan langsung dari pendiri toko ini. Tapi istri saya sedang tidak ada di rumah,” kata Pak Pararto memulai kisahnya.

Sore itu kami memang gagal bertemu istri Pak Pararto, Ibu Rosani Wiogo. Namun, dalam kunjungan berikutnya Pungky bisa berbincang panjang lebar dengan Ibu Rosani. Dari gabungan penjelasan Pak Pararto dan Pungky pulalah akhirnya saya mendapatkan cerita lengkap tentang toko roti tersebut.

Pendiri Roti Go

Pendiri Roti Go

Kisah Roti Go bermula pada 1898. Saat itu Oei Pak Ke Nio dan suaminya, Go Kwe Ka, mencoba-coba membuat roti. Lalu terbersitlah ide membuat toko roti. Dipilihlah nama Roti Go, yang diambil dari nama Go Kwen Ka. Pasangan Oei Pak Kwe Ka adalah kakek dan nenek Ibu Rosani Wiogo. Saat Toko Roti Go dibangun, ayah Rosani masih berusia enam bulan. “Istri saya adalah generasi ketiga pemilik toko ini. Toko ini berdiri 1898, jadi usianya sudah 117 tahun,” terang Pak Pararto.

Roti Go disebut-sebut sebagai toko roti tertua di Indonesia. Tapi Pak Pararto enggan mengklaim status itu karena tak ada data resmi yang mendukungnya. Sejak awal berdiri hingga sekarang toko ini berusaha menjaga resep keluarga (biang roti) yang diwariskan secara turun temurun.  Promosi juga dilakukan secara turun-temurun. Sejumlah pemilik toko roti tua di wilayah Banyumas hampir semua masih bertalian darah dengan pemilik Roti Go. Bahkan pegawai toko Roti Go saat ini sebagian besar adalah anak atau cucu-cucu dari pegawai yang dulu.

Toko Roti Go sejak dulu dikenal karena produksi roti manis, roti sobek, dan roti-roti tradisional lainnya. Demi mengikuti tren, hanya isinya yang dibikin lebih bervariasi. Awalnya mereka hanya membuat roti dengan isian pisang, cokelat, dan kranten. Sekarang Toko Roti Go memiliki sekitar 80 varian roti dan sekitar 10 jenis cake. Andalan mereka antara lain roti kopi brood, roti sobek isi daging ayam kampung, dan roti pastry horn isi vla.

Produksi dilakukan setiap hari mengingat toko ini tak pernah menggunakan bahan pengawet. Adonan roti diolah dengan tangan dari bibit roti yang dibuat secara alamiah. Tak heran, pembuatan roti memakan waktu sehari semalam. Roti maksimal hanya bertahan selama dua hari karena tak menggunakan bahan pengawet. Jika roti tak habis terjual, keesokan harinya langsung dibuang. Di situlah letak keistimewaan Roti Go.

“Kami memang tak pernah menggunakan bahan pengawet, pemanis, pengembang, maupun pewarna. Bahan baku roti yang digunakan juga yang berkualitas tinggi. Roti kami memang sulit dibawa sebagai oleh-oleh ke tempat yang jauh. Paling cuma bertahan dua hari. Tetapi bagi kami kualitas yang terpenting. Kalau soal rezeki sudah ada yang mengatur,” tutur Pak Pararto.

Sore itu, kami mendapat kesempatan istimewa diundang masuk ke toko dapur toko Roti Go. Biasanya pengunjung hanya boleh melongok dari pintu dapur. Tak ada aktivitas apa pun sore itu. Proses produksi roti biasanya hanya berlangsung dari pagi hingga siang.

Kesan klasik terpancar kuat. Sentuhan modernitas memang ada, namun sentuhan tradisional lebih mendominasi. Pemandangan yang langsung menarik perhatian adalah oven legendaris yang terletak di salah satu sudut ruangan. Mereka masih menggunakan oven model zaman Mesir Kuno, dari batu bata tahan api alias firebrick. Bahan bakarnya masih mempertahankan kayu bakar.  Adonan roti juga masih menggunakan tenaga manusia.

roti go5

Oven model Mesir Kuno

Hingga kini, tak ada niatan mengganti oven dengan yang lebih modern atau menggunakan gas sebagai bahan bakar. Mereka tak ingin pelanggan kecewa. Justru roti yang beraroma khas tersebut jadi kenangan spesial dan magnet bagi para pelanggan setia untuk selalu kembali.  “Nanti rasa rotinya jadi berbeda kalau pakai oven modern,” ujar Pak Pararto mengungkap alasan tetap mempertahankan oven klasik tersebut.

Usia pasangan Ibu Rosani dan Pak Pararto kini tak muda lagi. Sudah melewati 60 tahun. Saat ini produksi roti diakui sudah menurun, tak sebanyak dulu. Bermunculannya toko roti modern sedikit menggerus eksistensi Roti Go. Dulu mereka juga punya banyak pegawai yang jualan keliling. Namun sekarang hanya tersisa satu orang yang masih aktif. Yang lainnya sudah berhenti karena usia dan tenaga tak lagi mendukung.

Tongkat estafet pengelolaan Roti Go semestinya sebentar lagi harus berpindah tangan ke generasi yang lebih muda. Tapi, proses itu terancam berjalan tak mulus. Kedua putra pasangan Ibu Rosani dan Pak Pararto belum ada yang bersedia meneruskan usaha keluarga turun temurun itu. Mereka lebih suka menekui bisnis di bidang lain.

“Anak kami memang belum ada yang mau. Entah nanti seperti apa. Tapi yang jelas kami bertekad membuat toko ini tetap bertahan dan lestari. Mungkin nanti dikelola oleh saudara yang lain, asalkan jangan sampai tutup,” urai Pak Pararto.

Sore itu kami tak mau sekadar membawa cerita tentang Roti Go. Meskipun sedang berpuasa, kami tetap membeli beberapa jenis roti. Saya ingin membuktikan sendiri kelezatan roti legendaris asal Purwokerto ini. Rasa penasaran lunas ketika adzan Magrib berkumandang di dekat alun-alun Kota Purwokerto. Di tempat itulah kami menghabiskan waktu senja sembari menunggu waktu berbuka puasa.

Jadi, seperti apa rasa Roti Go? Pokoknya memang enak banget! Kalau tidak percaya, silakan coba sendiri deh 😀

 

About yusmei
Tergila-gila dengan membaca dan menulis...Punya mimpi menelusuri sudut-sudut dunia

40 Responses to Roti Go: Kisah Biang, Oven Kuno, dan Perjalanan 117 Tahun

  1. Kalo bicara tentang roti kuno gt jadi inget madre novel dee…

    Tp ternyata di dunia nyata ada

  2. imamalavi says:

    semoga segera ada yang melanjutkan bisnis rotinya ya kak sayang banget kalo harus gulung tikar, aku bayangin harumnya roti pas dibikin langsung di dapur hmm pasti lezat bangett jadi pengen cobain :3

  3. ghozaliq says:

    ROTI GO ya? mungkin sebentar lagi keluar aplikasi di semaretpon

  4. Alid Abdul says:

    Bukan penggemar roti tapi klo gorengan macam bakwan dan tempe mendoan aku lahap ahaha. Tapi klo dari sejak jaman dahulu jadi penasaran jugak 😀
    Waktu ke purwokerto dulu gak sempet nyari ginian 😀

  5. noerazhka says:

    Akhirnya apdet juga rumah maya favorit saya ini! Hahahaha .. 😀

    *komennya ngga nyambung, harap maklum, Kak, saking bahagianya*

  6. Dita says:

    mau ke sini dooono, bikin penasaran deeeh
    kalo di Jakarta udah nyoba roti Lauw sama Tan ek Tjoan belom?

  7. Waaa bisa masuk ke dalam dapurnya ya, mbak? Pinginnnn lihat oven jadulnya juga… kemarin pas ke Purwokerto juga masuk dan beli roti lawasnya. Baru nyobain roti semir ama isi pisangnya, hasilnya uenak banget! 😀

  8. Dian Rustya says:

    eh iya. Aku juga langsung keinget Madre tadi 😆

    Jadi penasaran sama rotinya

  9. Yasir Yafiat says:

    Yang legendaris memang membuat banyak orang tertarik dan penasaran. Hemmmm ngiler rek baca ini.

  10. Salam Kenal dan Salam Sukses dari Kami
    Jajanan Arek Suroboyo

  11. dianeato says:

    tak bisa dipungkiri roti – roti legendaris memang enak.
    itu betul kalau udah lewat 2 hari dibuang ? wah mubazir yah…

  12. ade says:

    Roti Go emang enak, saya asli banyumas purwokerto, sampe sekarang masih mampir kalo lewat

  13. Ah, sayang bgt aku baru baca ini telat. pas ke purwokerto lalu ga ada singgah samasekali kesini.. aku juga lbh suka roti2 yg legendaris mbak.. biasanya rasanya memang beda dr roti modern.. untungnya di jkt ada toko roti legendaris, walopun blm setua roti go ini umurnya..

  14. pagi2 baca dan lihat gambarnya jadi laper,,, hikz hikz

  15. kembanggoyangsurabaya says:

    Salam Kenal, Silahkan Kunjungi Website kami juga

  16. duniaekoblog says:

    Toko roti go emang paling enak rasa rotinya di kota purwokerto

  17. Luthfan.com says:

    Kayanya enak tuh rotinya

  18. Lenterahidup says:

    Mantap-mantap rotinya, bikin pengen aja.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: