Menyambangi Sedulur Sikep Samin
June 15, 2016 16 Comments
Dulu…dulu banget, guru SMP saya beberapa kali menyebut-nyebut tentang Wong Samin. Biasanya kata itu terlontar kalau ada muridnya yang agak ngeyel atau bebal.
Saya jadi penasaran. Sebenarnya Wong Samin itu siapa? Tinggalnya di mana? Seperti apa mereka? Saat itu jawaban yang didapat ya begitu-begitu saja. Wong Samin itu tinggalnya di Blora. Sudah begitu saja, titik.

Foto Mbah Lasiyo dan Mbah Wedhok di dinding rumah.
Sahabat saya Azizah juga pernah bercerita tentang uniknya asisten rumah tangga budhenya yang merupakan orang Samin. Jadi, ART itu kerap melakukan sesuatu yang “ajaib” dan bikin geleng-geleng.
Nah, suatu hari, sang ART disuruh berbelanja ke pasar. Berangkatlah dia berbelanja. Tapi, sudah lama sekali mbak ART itu tak kunjung pulang. Diceklah ke pasar. Ternyata, mbak ART itu masih berada di pasar. Saat ditanya kenapa tak segera pulang, jawabannya bikin geregetan. Dia bilang tak pulang karena budhenya Azizah cuma menyuruhnya pergi ke pasar, tapi tidak menyuruh pulang. *tepok jidat, benerin poni.* Aneh kan?
Setelah sekian ratus purnama dan beberapa kali ganti presiden, rasa penasaran terhadap Wong Samin bisa terjawab. Terima kasih berat buat Azizah yang mengajak menyambangi Blora pertengahan tahun lalu. Berasa dream come true banget…*halah*
Perjalanan menuju Blora benar-benar butuh perjuangan dan kucuran keringat . Gara-garanya saya sok-sokan milih naik bus, daripada travel. Ternyata, perjalanan direcoki macet di mana-mana karena sedang ada perjalanan ruas jalan. Apesnya, bus dari Solo ke Purwodadi terus lanjut ke Blora tidak ada yang ber-AC. Jadilah, saya mandi sauna pagi itu. Yaah…itung-itung nyari keringat kan jarang olahraga.

Pohon-pohon meranggas karena musim kemarau di Blora.
Kesan pertama saya tentang blora: gersang. Yang kedua: kaget. Daerah yang konon memiliki kandungan minyak melimpah itu, ternyata jauh dari kesan makmur. Kabupaten ini bahkan tercatat sebagai salah satu daerah dengan jumlah penduduk miskin tertinggi di Jawa Tengah.
Tapi, label apalah itu tak mengurangi pesona Blora. Alasannya: ini tempat kelahiran penulis besar Pramoedya Ananta Toer. Yang kedua: makanannya enak-enak. Yang ketiga: di Blora ada wong Samin, sesuatu yang sudah lama membuat saya penasaran. Bukankah traveling tak harus melulu soal keindahan?
Untuk perjalanan mengunjungi Wong Samin ini saya harus berterima kasih banget kepada Yunita dan suaminya Mas Sis. Di sela-sela berbagai kesibukan, mereka mau mengantarkan saya dan Azizah menyambangi Wong Samin di Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Blora. Eh, masih ditambah traktiran sate kambing pula. Benar-benar rezeki anak sholehah. 😀
Perjalanan menuju Desa Klopoduwur yang terletak sekitar 10 kilometer dari pusat kota Blora sangat menyegarkan. Permukiman Wong Samin tersebut terletak di tengah hutan jati. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan pohon-pohon jati yang sebagian meranggas karena musim kemarau. Jarak 10 km pun menjadi tak terasa jauh.
Tahu-tahu kami sudah sampai di Klopoduwur. Pondok yang cukup besar dan terawat dari kayu berdiri kukuh di tengah-tengah permukiman. Ada tulisan yang menjelaskan keberadaan pondok tersebut. “Pondok Sedulur Sikep Samin Karangpace.”
Tak lama kemudian, kami ditemui oleh Mbah Lasiyo dan istri beliau yang biasa dipanggil Mbah Wedhok. Beliau berpakaian santai, mengenakan celana pendek dan kaus abu-abu berkerah, dilengkapi ikat kepala. Mbah Lasiyo merupakan sesepuh di kawasan tersebut. Leluhurnya, Sura Samin Pangkrek, salah satu tokoh penyebar ajaran Samin. Awalnya, ajaran ini disebarkan oleh Samin Surosentiko pada pertengahan abad ke-19. Ajaran Samin berkembang di desa di Blora, namun cepat menyebar ke berbagai daerah, mulai dari pantai utara Jawa sampai ke seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan.

Bersama Mbah Lasiyo dan Mbah Wedhok di Pendopo Sedulur Sikep Samin Karangpace.
Penyambutan Mbah Lasiyo sangat hangat. Saya merasa seperti disambut saudara sendiri. Kami langsung disuguhi segelas teh panas oleh Mbah Wedhok, untuk menemani obrolan seru di pendapa.
“Kalau Samin itu bisa diartikan sami-sami urip (sami-sami hidup). Wong Samin juga biasa disebut sedulur sikep,” ujar Mbah Lasiyo memberi penjelasan singkat tentang Wong Samin dalam bahasa Jawa.
Percakapan kemudian mengalir dengan menyenangkan. Bak mendapatkan pelepas dahaga, berbagai pertanyaan tentang Wong Samin mengalir deras. Berbagai pertanyaan yang jadi “bisul” selama bertahun-tahun tersibak sedikit demi sedikit.
Pertanyaan yang selama ini paling bikin penasaran langsung kami lontarkan: mengapa wong Samin sering diidentikkan dengan bodoh, saklek, dan ngeyel? Kisah sikap ngenyel dan saklek yang identik dengan Wong Samin ternyata mengandung semangat perlawanan. Menurut Mbah Lasiyo, mereka melakukan itu semua untuk melawan penjajah Belanda. Namun, perlawanan dilakukan secara halus, tidak menggunakan senjata. Wong Samin juga memilih mengisolasi diri. “Kami melawannya dengan membuat Belanda menjadi jengkel. Sedulur Sikep juga tak mau membayar upeti karena itu sama saja tunduk kepada Belanda,” kata Mbah Lasiyo.
Sedelur Sikep Samin juga sengaja memberikan jawaban menjengkelkan saat ditanyai oleh orang-orang Belanda pada masa penjajahan. Lugas, memberikan jawaban yang membingungkan, tapi tak berbohong. “Misalnya ada orang Belanda tanya mau ke mana, Sedulur Sikep tak menjawab tujuannya. Tapi bilang mau ke depan. Kalau ditanya dari mana, jawabnya dari belakang. Orang Belanda pasti jengkel. Tapi jawabannya kan tidak bohong,” urai Mbah Lasiyo.

Sikap perlawanan itu berakhir seiring hengkangnya Belanda dari Tanah Air. Sedulur Sikep Samin mulai membuka diri, mau menuntut ilmu melalui pendidikan formal bahkan hingga perguruan tinggi. Tak ada lagi sikap ngeyelan, Sedulur Sikep Samin kini manut kepada pemerintah. Namun, menghilangkan konotasi negatif yang terlanjur melekat pada Wong Samin ternyata tidak mudah. Butuh proses panjang.
Seiring perkembangan zaman, Sedulur Sikep Samin juga harus beradaptasi. Semua itu dilakukan tanpa meninggalkan ajaran-ajaran dan kearifan yang sudah dipegang secara turun temurun.
Mbak Lasiyo menuturkan Wong Samin tidak membeda-bedakan agama, yang terpenting bertabiat baik dalam hidup. Pantang berbohong dan selalu berusaha menjaga persaudaraan. Mereka juga diajari untuk jangan mengganggu orang lain, mengambil milik orang lain, maupun iri hati. Sabar juga jadi pegangan penting bagi Wong Samin.
“Kami berusaha terus menjaga ajaran-ajaran tersebut. Bahkan iket yang kami pakai juga ada maknanya, yaitu untuk mengikat tindakan yang tidak terpuji,” kata Mbah Lasiyo.
Jadi begitulah Wong Samin. Saya mendengar penjelasan langsung dari sumbernya, ditemani segelas teh panas, dan senyum yang terus menghiasi wajah Mbah Lasiyo dan Mbah Wedhok. Kurang senang apa coba?
Tapi, sayangnya kami tak bisa berlama-lama di sana. Sudah saatnya berpamitan. Mbah Lasiyo pun mengundang kami untuk menengok rumahnya sebentar. Kediaman beliau hanya sepelemparan batu dari pendapa. Sebuah rumah sederhana dari papan, dilengkapi lincak berukuran sedang di bagian teras. Sepanjang penglihatan, hampir semua rumah Wong Saimin yang berada wilayah di seputaran pendapa terbuat dari kayu.
Bonggol-bonggol jagung digantungkan di langit-langit teras Mbah Lasiyo. Mungkin itu hasil panen mereka dari ladang. Ruang tamu rumah juga sederhana. Ada sejumlah kursi kayu dan meja. Yang mencolok adalah hiasan -hiasan yang terpasang di dinding.
Ada foto Mbah Lasiyo mengenakan pakaian khas Samin, didampingi Mbah Wedhok. Ada juga foto Mbah Lasiyo bersama bersama beberapa dua Wong Samin lainnya. Ketiganya mengenakan pakaian hitam plus ikat kepala Wong Samin. Nah, ada juga sejumlah penghargaan serta tulisan falsafah-falsafah Wong Samin yang dibingkai dan digantung di dinding. Sangat kental aroma Sedulur Sikep Samin. Sangat menarik, setidaknya menurut saya.
Setelah melihat-lihat sekeliling ruang tamu, kami akhirnya harus benar-benar pamit. Senang rasanya mendapatkan pengalaman ini. Terima kasih Mbak Lasiyo dan Mbah Wedhok untuk sambutan, cerita, keramahan, dan kehangantannya. Semoga suatu saat bisa berkunjung lagi.
Ke Blora via Purwodadi, menurut saya lebih nyaman naik bis daripada travel. Perjalanan terasa lebih hidup daripada hanya duduk termenung di dalam mobil travel 😀
Sebenarnya kalau pas tidak ada perbaikan jalan nyaman sih mas…tapi pas itu ada perbaikan jalan, jadi lama bangeet heehehe
Saya pernah perjalanan via bus waktu perbaikan jalan, Solo-Pati 6 jam. Hehee.. Nice post Mba 😀
wahhh menarik banget ini mbaaa. Aku pernah nonton film pendek tentang org Samin…tapi kurang paham, setelah baca ini jadi tercerahkan 🙂
Iyaa Dit..dulu juga cuma dapat cerita sepotong-potong jadi malah bingung. Akhirnya dapat cerita langsung dari sumbernya. 😀
Jadi makin mupeng tentang Wong Samin. Tertarik juga dengan pakaian keseharian mereka yang dominan hitam, padahal Blora kan panas, apa nggak tambah kepanasan ya? Oh iya ya Museum Pramoedya berada di Blora juga. Ahh beneran kudu cari waktu buat ke sana, sekalian menetaskan “bisul” hahaha
Buruan cusss..dekat juga Lim 😀 …kalau di daerah Klopoduwur gak terlalu panas Lim..banyak pepohonan
Wah… udah lama nggak nongol, postingannnya seru banget
Setelah tujuh purnama…akhirnya..hufft
beda ya mbak purnama di jakarta dan boyolali? wkwkwkw
dulu waktu kecil aku suka dibilangin samin gitu kalo disuruh ini itu tapi nggak mudeng2…
jadi, samin ini cuma pandangan hidup dan -isme yah, bukan kayak aliran agama tertentu 😉
Waaah asyik Mbak,ngiri, bisa mengenal Samin lebih dalam. Saya cuma diceritani Bapak saja saat pulang ke Pati 🙂
ya ampun komen ini kok belum tak bales. kapan2 mampir main ke sana Qy
lama gak mampir disini
Makasih lho Mas dah mampir 🙂
Cakep yaaa foto nya yg meranggas di blora, aku tau nya blora ini tempat kaya mebel
Loooh malah baru tahu di sana kaya mebel, kirain cuma di Jepara yang kaya mebel