Drama Puncak Darma
January 2, 2017 40 Comments

Pemandangan di Puncak Darma, di kawasan Geopark Ciletuh, Sukabumi.
Belum sampai di tempat parkiran, mobil yang kami kendarai sudah mengerang. Rupanya ada batu besar yang menghambat laju roda. Belum lagi kondisi jalanan yang licin dan berlumpur karena hujan berulang kali turun pada siang itu.
Alhasil saya, Femi, Pesta, Agnes, Mbak Retno, dan Memet turun dari mobil supaya Opik yang menyetir lebih mudah bermanuver menghindari batu dan menuju ke tempat parkiran. Berkat bantuan beberapa penduduk setempat, mobil kami pun sampai di lokasi parkir yang tepat berada di halaman warung makan Pak Ujang.
Begitulah awal petualangan kami menuju Puncak Darma tepat pada libur Natal, 25 Desember 2016. Bagi yang belum mengenal Puncak Darma, jangan berkecil hati. Saya juga baru tahu tempat itu sehari sebelum berangkat kok. Hahaha. Penjelasan singkatnya, Puncak Darma ini bukit berketinggian 230 mdpl terletak di Desa Girimukti, Ciemas, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, masih berada di kawasan Geopark Ciletuh. Dari Jakarta butuh waktu sekitar enam jam jika ditempuh melalui jalan darat.
Nah, setelah memarkir mobil, perjuangan menuju Puncak Darma baru benar-benar dimulai. Saya memandang jalanan berbatu dan berlumpur yang harus kami tapaki menuju ke puncak. Sesuai petunjuk di papan, jaraknya cuma 2,5 km (tapi setelah dijalani kayaknya lebih deh). Ada dua alternatif untuk sampai di destinasi tujuan kami: jalan kaki atau naik ojek. Tarif ojek sudah ditetapkan dan tidak bisa ditawar: Rp 60.000 PP. Sempat tergoda pengin naik ojek, tapi kok kayaknya lemah banget. Lagian teman-teman semua memilih jalan kaki. Jadi, ya sudahlah…

Perjalanan menuju Puncak Darma. (Photo by: Agnes)
Perjalanan kami ternyata cukup menantang. Hujan yang beberapa kali turun membuat jalanan menjadi licin dan berlumpur. Kalau tidak hati-hati bisa terpeleset. Saya cuma bisa ngenes memandangi sandal di kaki saya yang jelas diciptakan bukan untuk trekking. Memet apalagi, cuma pakai sandal jepit karena tahunya diajak ke pantai bukan trekking. Maaf, kamu tertipu Met.
Awalnya kami masih bergembira saat mendaki. Sesekali kami berfoto bersama, maklum kaum pencandu media sosial. Tapi, lama kelamaan napas mulai ngos-ngosan, terutama saya. Akhirnya setelah mencapai sepertiga perjalanan (ada yang bilang baru seperempat), saya dan Memet menyerah. Kepala saya sudah pusing dan napas juga super ngos-ngosan. Beginilah nasib orang yang malas olahraga. Keputusan saya dan Memet untuk tak melanjutkan perjalanan makin bulat ketika hujan turun sangat lebat. Kami bertujuh akhirnya berteduh di salah satu rumah penduduk setempat.
Saat berteduh itulah, teman-teman pun menyarankan saya dan Memet meneruskan perjalanan naik ojek. Sayang banget soalnya sudah jauh-juah kok tak sampai ke puncak. Usul brilian! Berkat bantuan penduduk setempat, dua tukang ojek pun datang setelah di-SMS. Saya dan Memet pun melanjutkan perjalanan dengan ojek, sedangkan lima teman yang tangguh tetap trekking.
Ternyata oh ternyata, naik ojek tak lantas membuat masalah langsung selesai. Naik ojek di jalanan yang mendaki, berbatu dan licin itu benar-benar bikin senam jantung. Abang ojek yang bernaman Regen (katanya sang ibu menamainya berdasar usulan seorang turis asal Eropa), berkali-kali bilang supaya saya berpegangan kencang di pinggangnya. Busyet, pacar bukan…suami bukan…eh disuruh pegangan. Tapi, mau bagaimana lagi. Daripada nyungsep atau jatuh, saya pun dengan patuh menaati instruksinya. Beberapa kali saya harus turun dari motor dan berjalan kaki ketika jalan yang kami lewati sangat licin. Saya lihat ban motor Bang Regen memang sudah saatnya diganti. Saat di jalanan berbatu, Bang Regen lebih lincah, tapi tetap saja saya merapal doa, takut jatuh dan terantuk batu.
Sekitar 15 menit saya dan Memet duluan sampai di puncak. Teman-teman baru datang sekitar 20 menit kemudian. Kalau dihitung, jalan kaki dari parkiran sampai puncak membutuhkan waktu sekitar 1 jam.
Bagaimana rasanya sampai di Puncak Darma? Ternyata peribahasa “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian” benar adanya. Puncak Darma memang indah, dan terasa misterius. Kabut bisa tiba-tiba datang dan pergi dengan cepat.

Pemandangan Teluk Ciletuh dilihat dari Puncak Darma
Dari Puncak Darma kami dapat melihat pemandaan Teluk Ciletuh yang eksotis. Warna airnya agak keruh karena aliran lumpur dari sungai-sungai di sekitarnya, tapi tetap menawan. Ada yang bilang Teluk Ciletuh ini dikenal dengan julukan Amphitheater Alam, konon karena bentuknya mirip Amphitheater.
Sore itu Puncak Darma tak terlalu ramai. Beberapa rombongan datang dan pergi, tapi tak berisik, jadi rasanya menenangkan. Benar-benar momen refreshing bagi para penghuni Kota Jakarta yang super berisik itu. Berdiri sambil diam memandang ke Teluk Ciletuh langsung membuat saya lupa segala lelah (tapi bohong).

Di Puncak Darma, Sukabumi.
Cuaca hari itu memang benar-benar tak menentu. Tiba-tiba saja hujan kembali turun, deras pula. Kami tak punya pilihan selain berteduh di salah satu warung di Puncak Darma sembari menunggu hujan reda. Enak sih berteduh sambil menikmati segelas teh panas dan ngemil. Masalahnya, perut keroncongan minta diisi karena paginya kami hanya sarapan mi instan.
Kabar buruknya, bapak yang punya warung tak punya makanan selain mi instan. Kami pun membujuknya untuk memasak nasi, buat pengganjal perut. Beruntung beliau bersedia. Jadi, menu makan sore kami nasi dengan lauk mi instan. Ngenes sih, tapi kalau kalau makannya bersama-sama rasanya jadi lumayan nikmat. Beneran.

Menikmati sepiring nasi berlauk mi instan di Puncak Darma. (Photo by: Femi)
Setelah perut kenyang, kami memutuskan turun dari tempat yang dikenal dengan sebutan Bukit Kuntilanak tersebut, apalagi hujan juga sudah reda. Eh kenapa disebut Bukit Kuntilanak? Konon dulu di bukit itu dulu sering ada penampakan Kuntilanak duduk di batu dengan kaki bergoyang-goyang. Nah, posisi duduk dengan kaki bergoyang ini disebut dengan ‘Darma’. Serem amat.
Perjalanan turun biasanya lebih mudah. Tapi, kalau naik motor ternyata lebih ngeri-ngeri sedap. Jika saat naik saya diminta pegangan pinggang abang ojek, kali ini saya disarankan duduk lebih ke belakang sembari memegang besi pembatas sadel. Bang Regen lalu memacu motornya pelan-pelan. Berkali-kali saya minta turun saat jalanan curam dan berbatu. Tapi, Bang Regen bilang tidak dan hanya menyuruh saya turun saat melewati jalanan berlumpur yang licin.
Di tengah perjalanan, Bang Regen bilang sesuatu yang membuat nyali saya menciut. “Maaf harus sering turun Teh, soalnya rem depan motor saya ini habis.” Saya langsung tambah sering komat-kamit merapal doa. Bagaimana nasib saya kalau sampai jatuh, apalagi para tukang ojek di sini tak melengkapi diri sendiri dan penumpangnya dengan helm. Perjalanan pun terasa bertambah panjang.
Saat dari kejauhan melihat tempat mobil kami diparkir, saya diam-diam mengembuskan napas lega. Saat turun dari boncengan, saya tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Bang Regen. Gara-gara Puncak Darma dan segala dramanya, hari libur saya jadi menegangkan dan menyenangkan. Ke Puncak Darma lagi? Hmm…boleh juga.

Kaki-kaki berlumpur, tapi hati senang setelah sampai di Puncak Darma.
Cuma saran:
- Untuk pengelola kawasan wisata di Puncak Darma, sebaiknya standar keamanan untuk tukang ojek dilengkapi lagi, salah satunya membawa dan menyediakan helm untuk diri sendiri dan penumpang.
- Menurut salah seorang tukang ojek, dalam waktu dekat jalan menuju Puncak Darma bakal diaspal, sehingga para pengunjung bisa lebih mudah menjangkau puncak. Tapi kok rasanya jadi kurang menyenangkan dan menantang ya? Usul saja, walaupun nanti jalanan ke atas sudah mulus, jumlah pengunjung dibatasi, supaya suasana tenang dan nyaman di Puncak Darma tetap terjaga.
Terima kasih fotonya: Pesta, Agnes, Femi, dan Memet.
Sukabumi, 25 Desember 2016
kangen trip kaya gini tapi pertanyaaanya apa sekarang masih mampu?
Tenanggg Om,, ada ojek yang bisa membantu yang manja2 kayak kita hihihi
Hahaha.. Aku sampe bayangin Mbak Yusmei pegangan perut Bang Regen sambil komat kamit. Seru ceritanya…
Beneran serem banget…apalagi kalau pas pinggirnya lembah curam gitu. Langsung pengin turun dari motor hahahaha
Hahaha. Deg-deh pyur jadine yo Mbak. Tapi itu menjadi pengalaman yang seru. Hehehe
Treking ujan2 yaaa jadinya
Hahaha iya Mbak. Dan ternyata beraaat
udah lama gk ikut trip kayak gini kak padahal dekat ya
Lumayan sih Win, enam jam kalau dari Jakarta. Cus berangkat Win
sayangnya aku udah gk dijakarta lagi kak 😦
Eh lha pindah ke mana Win?
ciwandan kak
Ciwandan itu Cilegon ya Win? Duh…mayan jauh juga yak
iya ciwandan itu di celegon lumayan kak 3 jam dari jakarta 😦
Pingback: Memandang Secuil Keelokan Geopark Ciletuh dari Puncak Darma – femidiah.com
Mbak, sempet njaluk nomer hape-ne mas ojek gak? Sopo reti hati tertambat di sana setelah nyikep pinggang si mas e huahahahaha.
hahahah ojo Lim kethoke anake wis 2
Lhah . . . ke alam begini koq ya milih musim hujan tho Yus? Mana Desember kan lagi gede-gedenya hujan . . .
Pas itu impulsif banget langsung berangkat Pak…ternyata di sana hujan terus hehehe
duhhh kebayang aku mbaaa, medannya kayak gituuu naek ojek….ampun dijeeee ngeri mending jalan deh pelan-pelan 😀
Kamu kayaknya pernah ke sana juga Dit? Iyaa…ternyata ngeri banget, beberapa kali hampir jatuh, mana gak pake helm hahaha
Wah medannya… jadi inget ngap-ngapan saat naik ke Gunung Anak Krakatau haha
Sebenarnya medannya masih lumayan…tapi dasar yang trekking mbak2 yang malas olahraga ya kayak gini. Yuk Yan…kita fitness bareng hahaha
Habis fitnes kita nongkrong di warung pempek ya #lhaaaa 😀
Minumnya es teler, jangan lupa es krimnya 😁
mbakyu…. lama banget hibernasinya, kangen tulisan2mu hehe
Iyaaa nih udah 6 bulan. Sampai gak pernah blog walking juga, Ntar aku mampir blogmu yaaaa
hehehe… asik, selama 6 bulan pasti byk cerita seru ya mbak 🙂 itu puncaknya bener menyiksa bgt yah, tp kalo ud di atas kebayar semua perjuangannya 🙂
Iyaa banyak cerita, tapi males nulisnya. Gimana dong? Hiks. Asyik kok di Puncak Darma, kapan2 nyoba dong 🙂
hehehe, kayaknya skip dulu hehehe… kalo ada gondola kesana mau deh 🙂
Mmg ngeri2 sedap naik motor ke puncak darma, temen ku beberapa terjatuh dan terjerembab. Kalo gw pelukan manja ama abang ojek nya, gw terus bisikin abang nya “Bang, ati2 bawa anak perjaka”
Walah ternyata beneran ada yang pernah jatuh tho Mas. Aku nanya ke abang ojeknya, kata dia jarang yang jatuh…ternyata. Busyet itu pesennya ke abang ojek manja amat hahaha
Sukabumi ternyata ya ada, tempat sebagus itu ya?
terima kasih
Masih banyak tempat bagus lainnya, terutama curug-curugnya. Tapi belum sempat eksplor. Terima kasih kembali
waduh kalo jalannya kayak gitu mending trekking deh tapi harus nyiapin stamina dulu hihihi
kalo naik motor juga resikony jatoh ato kepleset.
btw, sayang ya teluk cileteuhnya lagi buthek
Bener banget, mending trekking, lebih aman. Paling gak kalau jatuh bisa benjol kepala hehehe.
Memang gak recommended pas musim hujan,.,airnya jadi keruh gitu
emg keren puncak darma kemaren habis dari sana, pemandangan luar biasa, hamparan laut selatan menghiasi puncak darma.
salam kenal : Muthalib
Salam kenal juga Mas. Yap…memang bagus banget. Nggak rugi capek2 jalan
halo salam kenal ya mba,, saya dari semarang (tepatnya ungaran), blogger baru masih newbie.. hehe.. postingannya keren mba, moga saya kesampaian bisa ngetrip ke puncak darma juga.. amin…
Salam kenal juga mbak Ika. Wah Ungaran dekat, saya aslinya Boyolali mbak hehe. Amiiin, semoga bisa sampai Puncak Darma mbak