Mencicipi Kuliner Indonesia di Manila
October 30, 2018 21 Comments
Kelemahan terbesar saat berada di negeri orang sebenarnya tak jauh dari urusan lidah. Baru beberapa hari pasti sudah membayangkan kelezatan soto, pecel, sate, gado-gado, pempek, nasi goreng, tak lupa es teh yang segarnya tak ada bandingannya.
Rasa rindu terhadap masakan Indonesia sebenarnya bisa ditahan, apalagi kalau perjalanannya hanya hitungan hari. Saya orangnya juga suka mencicipi masakan-masakan lokal saat traveling ke mana pun. Tapi kalau ada kesempatan melepas kangen dengan masakan Indonesia saat di luar negeri, kenapa tidak? Kata orang, rindu itu obatnya hanya bertemu.

Warung-Warung. Lapak yang menjual masakan khas Indonesia di Lepazki Sunday Market, Manila. (Usemayjourney)
Begitulah rasa rindu menuntun kami bertiga berjalan kaki menyusuri jalanan di tengah gedung-gedung yang menjulang tinggi Kota Makati, pusat bisnisnya Metro Manila.
Langit sudah gelap. Badan saya, Azizah, dan Alid juga sudah lelah setelah seharian menjelajahi Manila. Tapi, iming-iming mengecap kulineran bercita rasa Indonesia terlalu sayang untuk dilewatkan.
Selama lima hari di Filipina, menu makan kami memang kurang variatif. Andalan kami gerai junk food terbesar di Filipina. Sebut merek lah: Jollibee. Makanan ini mungkin paling mendekati syarat halal, dan murah pula. Cocok lah buat pejalan modal pas-pasan seperti kami. Tapi kalau makan itu-itu saja, lama-lama bosan juga.
Jadi, berbekal alamat yang didapat dari berselancar di dunia maya, kami menyambangi Warung Indo, di Jalan San Agustin, Makati. Kalau lihat review-nya, menu makanannya cukup menggiurkan. Paling tidak bisa memanjakan lidah yang mungkin sudah ingin protes gara-gara makan Jollibee lagi, Jollibee lagi.
Lokasi Warung Indo tidak terlalu jauh dari Kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Bukan di tepi jalan utama, tapi mudah ditemukan. Saat melihat bangunan tak terlalu besar bertuliskan Warung Indo, Chinese Indonesian Restaurant, kami menarik napas lega dan jelas bahagia.

Suasana Warung Indo di Makati, Filipina. (Usemayjourney)
Poster-poster yang dipasang di dinding saja sudah cukup menerbitkan air liur. Bayangkan saja, ada gambar pecel lele, pecel ayam, ayam penyet, gado-gado, lontong sayur medan, dan lain-lain. Aduh emak, anakmu ini jadi lapar berat.
Ornamen-ornamen yang dipasang di dekat meja kasir juga menarik. Ada bendera merah putih berukuran kecil, wayang kulit, hingga patung-patung khas Indonesia lainnya. Berasa pulang ke rumah.

Pernik-pernik khas Indonesia di Warung Indo, Makati, Manila. (Usemayjourney)
Saya memutuskan memesan gado-gado. Rasanya enak sih. Tapi, memang agak beda dibanding gado-gado langganan saya di Solo, atau yang beberapa kali dimakan di Jakarta. Mungkin bumbunya sedikit disesuaikan dengan lidah orang-orang Filipina. Salah satunya, tingkat kepedasan yang tidak terlalu menggigit. Maklum, orang Filipina tidak terlalu suka pedas.
Pemilik mungkin sengaja memodifikasi makanan karena pembeli yang datang tak semuanya orang Indonesia. Mayoritas malah warga lokal. Saya hanya melihat satu keluarga asal Indonesia malam itu, ditilik dari percakapan mereka. Pengujung lainnya sepertinya orang Filipina.
Seperti biasa, rasa penasaran saya sangat besar. Rasanya pengin ngobrol dengan pemilik rumah makan tersebut. Saya berharap sang pemilik datang. Tapi, ternyata tidak. Pramusajinya juga semuanya orang Filipina. Jadi, rasa penasaran untuk menggali cerita di balik Warung Indo terpaksa saya simpan kembali.
Restoran Indonesia di Manila jumlahnya segilintir, salah satunya Warung Indo. Warung Indo berdiri di Manila sejak 2012 atau sudah bertahan selama enam tahun. Selain itu ada restoran padang Garuda, lokasinya tepat di seberang kantor KBRI Manila.
Oh iya, soal harga lumayan terjangkau lah. Tidak terlalu mahal, tapi juga tidak terlalu murah. Lagipula tidak usah terlalu mikir kalau bisa menemukan kemewahan menyantap makanan Indonesia di negeri orang. Sebaiknya abaikan kurs untuk sejenak. Lha daripada nyesel.
Tapi, jangan khawatir. Ada opsi lain jika ingin mencicipi masakan Indonesia di Manila. Cobalah datang ke Legazpi Sunday Market. Lokasinya juga masih di Makati, tak jauh dari KBRI, tepatnya di Herrera St. cor Legazpi and Salcedo V.A. Rufino St, Legazpi Village, Makati.

Bu Tess (tengah pakai ikat kepala batik cokelat tua), pemilik Warung-Warung di Manila. (Usemayjourney)
Saya dan Azizah ke Lepazki Sunday Market awalnya pengin melihat siapa tahu ada barang-barang lucu yang bisa dibawa pulang. Saking niatnya, kami ke sana sambil menyeret-nyeret koper karena siang itu harus pindah penginapan. Demi berburu oleh-oleh, kadang butuh pengorbanan. Halah.
Keberuntungan berpihak pada kami. Saat berkeliling melihat-lihat lapak-lapak penjual, kami menemukan warung Indonesia lagi. Warung ini langsung menarik perhatian, bahkan hanya dalam sekali lirik.
Bagaimana tidak menarik perhatian jika para penjaga warung yang meladeni pembeli dengan memakai celemek dan penutup kepala dari kain batik. Motif batiknya khas Solo-Jogja. Nama lapaknya juga sangat Indonesia “Warung Warung”.
Wah ini namanya rezeki nomplok. Meskipun gagal menemukan barang-barang lucu untuk dibawa pulang, kami menemukan harta karun lain. Tanpa pikir panjang, kami ikut antre membeli. Tampaknya seluruh pembelinya orang Filipina. Tapi, saya juga tidak mengetahui pasti karena wajah orang Indonesia dan Filipino sulit dibedakan.

Makanan yang dijual di Warung-Warung, Makati, Manila. (Usemayjourney)
Saat itu saya yakin banget kalau pemilik warungnya pasti orang Indonesia. Ketika saya menyapa dengan bahasa Indonesia, salah seorang penjaga warung menjawab sapaan dengan bahasa Indonesia juga. Wah benar kan, pemiliknya orang Indonesia, kata saya dalam hati.
Perempuan setengah baya tersebut bernama Bu Tess. Ternyata, beliau lah sang pemilih warung. Bu Tess mempersilahkan kami memilih makanan. Menunya lumayan menggoda, ada nasi goreng, sate ayam, terong balado, tahu telur, bakwan, hingga perkedel jagung. Sayang, tak ada tempe. Saya memilih menu aman, nasi goreng plus perkedel jagung. Azizah memilih sate.
Nasi gorengnya enak, tapi lagi-lagi kurang nendang bumbunya. Sambal disediakan terpisah. Menurut Bu Tess, urusan rasa memang disesuaikan dengan selera Filipino yang kurang suka pedas. Apalagi, pelanggan warung mereka mayoritas memang warga lokal.
Ketika Bu Tess tak terlalu sibuk melayani pembeli, saya langsung menyodorkan pertanyaan yang sejak tadi bikin penasaran. Tentu saja asal Bu Tess dan sudah berapa lama tinggal di Filipina.
Ternyata oh ternyata…Bu Tess orang asli Filipina. Lho? Bagaimana tidak kaget, Bu Tess sangat fasih berbahasa Indonesia. Wajahnya juga khas Indonesia. Soal fasih berbahasa Indonesia, Bu Tess pun memberi penjelasan.
Ternyata, beliau pernah tinggal di Indonesia lebih dari 15 tahun. Tinggalnya di daerah Ciputat. Pantas saja jago mengolah masakan Indonesia.
Bu Tess bercerita pelanggan warungnya mayoritas orang Filipina. Lidah Filipino mudah menerima citarasa masakan Indonesia. Warungnya tak pernah sepi. Makanan yang dijual hampir selalu ludes.
Selain berjualan setiap Minggu di Sunday Market Makati, Bu Tess memiliki warung di Kota Pasig. Bisnis kuliner warung makanan Indonesia itu sudah dilakoninya sejak 2008. Awet juga, bertahan lebih dari sewindu.
Jadi, kalau sedang berkunjung ke Manila dan tiba-tiba kangen berat dengan masakan Indonesia, tak perlu khawatir. Warung Indo dan warung milik Bu Tess bisa jadi tempat untuk melepas rindu.
Tak pikir pensiuuuuuuuuuunnn ngeblog wkwkwkw. Pecel Lele itu adalah Pecel Lele termahal yang pernah aku beli seumur hidupku hahahahaha. Lah di mari cuma 11-15ribu. Di sana 80ribu wkakakaa. Tapi sambelnya endeeeeeeeeeessss 😀
lha lagi sadar blogku rung isi blas tahun iki. Aku merasa hina hahaha. Ra popo 80 ribu…timbang jollibee terusss
Tak pikir pensiuuuuuuun ngeblog (2) 😀 😀
Rasane lidah rindu masakan Indonesia yen makanan di negara lain kurang greget yah. Koyo mbiyen ke Malaysia yg kulinernya berlemak gitu jg bikin mudah bosan dan eneg, larinya jadi ke resto cepat saji.
Postingan pertama tahun ini hahaha. Iya , aku kalau di malaysia siang makanan khas sono, malam makanan yg netral. Kagak kuat lemak2-an terus
Mungkin karena belum pernah traveling terlalu lama (dan terlalu jauh, paling mentok baru Myanmar dan Vietnam) dan karena nggak ada pantangan tertentu dalam makanan, aku belum pernah merasakan kangen makanan Indonesia saat traveling ke luar negeri.
Tapi bisa juga aku memang gitu orangnya, enjoy live like a local 😀
Penampilan makanan Bu Tess juga lebih menggiurkan sih daripada warung sebelumnya.
Tanpa pantangan itu yang kadang bikin lebih mudah. Kalau aku benar-benar harus milih dan hati-hati, akhirnya jatuhnya ke junk food yang itu lagi,.itu lagi hahaha. Makanya gampang keinget makanan rumah. hahaha.
Bu Tess juga ramaaah, jadinya tambah bikin menarik buat mencicipi makanannya hehehe
mantep bu
noted mba
Bisa mampir kalau ke sana 😊
Amien mba
Makanan di Manila juga terkenal Unik dikarenakan mereka bekas jajahan protugis.
Akusi belom pernah jalan-jalan keluarnegri, kayaknya hal pertama yang dirasakan sama tentang mencaei makanan yang sama dengan lidah Indoneaia. Salam blogger Indonesia
Iyaa gak semua makanan baru cocok di lidah, tapi tetep kudu nyoba, biar tahu kultur lokal. Tapi makanan Indonesia memang ngangeniiin. Salam blogger juga.
Aku pernah nyoba gudek jogja rasanya terlalu manis dan diperut kurang menerima, mungkin kebiasaan suka makan pedas..
Beneer. Aku yg orang jateng dan suka makanan manis aja kalau gudeg jogja juga ngerasa kemanisan. 😁
benerkan memang gudeg jogja kemanisan, apa orangnya suka yang manis-manis iya. aku pernah nanya sama orang jogja jawabanya ”kolo gk manis ya bukan gudeg apalagi kalogak ada kereceh”. kereceh yakni kulit sapi yang dimasak bersama gudeg..
Iyaaa selera sih sebenarnya. Tp ciri khas gudeg jogja memang gitu.
Betol sekali
Bener sih
Ndelok penampakan pecel lele dan gado-gadonya kok kayaknya lebih enak masakane Ibu Bara deh. Hahaha
Nek itu jelas. Rasanya jauuuuh haha