Rambut Gembel, Antara Rezeki dan Cobaan

Nafis duduk di pangkuan ibunya mendengarkan Mbah Naryono yang sedang bercerita

Nafis duduk di pangkuan ibunya mendengarkan Mbah Naryono yang sedang bercerita

Perhatian saya tersedot oleh polah tingkah Nafis. Layaknya seorang bocah, dia sangat lengket dengan ibunya, Mbak Qod. Nafis terus duduk di pangkuan ibunya. Matanya tekun memandang ke layar LCD saat pemutaran film dokumenter tentang ritual cukur rambut gimbal anak-anak Dieng. Sesekali dia merebahkan kepala ke dada sang ibu. Mungkin disergap bosan. Saat Mbak Qod mengambil camilan tempe kemul dan kacang godog yang dihidangkan di meja, Nafis minta disuapi.

Saya bertemu Nafis di Pendopo Soeharto-Whitlam, Dieng, bersama 19 Travel Blogger dari berbagai daerah yang diundang mengikuti Fam Trip oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah, 5 Desember lalu. Sekilas penampilan nafis tak beda dengan anak-anak sebayanya. Hanya rambutnya panjang tak teratur. Kulit wajahnya kemerah-merahan khas orang yang tinggal di pegunungan. Sepintas mirip orang Mongolia. Ketika diamati dari dekat, keunikan Nafis baru terlihat. Sebagian rambutnya berwarna kemerah-merahan dan gimbal. Ingat rambut anak-anak rasta? Mirip seperti itulah rambut Nafis, namun lebih alamiah.

???????????????????????????????

Rambug gembel Nafis

Masyarakat Dieng menyebut bocah seperti Nafis tersebut sebagai anak berambut gembel. Menurut pemangku adat masyarakat Dieng, Mbah Naryono, anak gembel adalah titipan dari Samodro Kidul. Setidaknya itulah yang diyakini masyarakat Dieng, suatu kayangan tempat bersemayamnya para Dewa. ”Punya anak berambut gembel ada yang bilang rezeki, ada juga yang bilang cobaan,” cerita Mbah Naryono dengan logat ngapaknya yang kental dan kemudian diterjemahkan Mas Alif Faozi, tokoh Pokdarwis Dieng Pandawa Desa Wisata Dieng Kulon.

Ya, mayoritas warga adat Dieng meyakini jumlah anak berambut gembel berkorelasi dengan kesejahteraan masyarakat. Jika jumlahnya makin banyak, masyarakat juga semakin sejahtera. Itu keyakinan mereka. Namun, dikaruniai anak berambut gembel juga menjadi cobaan tak mudah. Emosi anak berambut gembel sangat labil, juga sering sakit-sakitan. Saat marah, rambut gembel sang anak kadang bisa berdiri tegak. Kalau punya permintaan juga harus dituruti saat itu juga. Kesabaran orang tua sangat diuji. Begitu yang terjadi pada Nafis.

Seperti anak-anak berambut gembel lainnya di Dieng, rambut Nafis awalnya tumbuh normal. Rambut gembelnya baru muncul saat dia berusia dua tahun. ”Saya ikut ruwatan di sini (Dieng). Ketika ada yang diruwat tiba-tiba saya nangis. Saya bertanya-tanya gimana jika anak saya juga dipotong rambutnya seperti itu. Dua bulan kemudian anak saya berambut gembel,” kata Mbak Qod menceritakan awal Nafis berambut gembel.

Fenomena anak berambut gembel sudah ada di Dieng sejak lama. Tak ada yang tahu kapan anak berambut gembel pertama kali ada di sana. Siapa pun bisa berambut gembel, kaya atau miskin, lelaki maupun perempuan. Berbagai penelitian yang melibatkan banyak universitas sudah dilakukan untuk menyelidiki fenomena rambut gembel di Dieng. Tapi hasilnya masih jauh dari terang benderang. Orang Dieng pun tidak berani terlibat terlalu dalam dalam penelitian-penelitian tersebut. Seperti yang dituturkan Mbah Naryono. Untuk mendukung penelitian, masyarakat Dieng kerap kali harus menyerahkan cukuran rambut gembel si anak. Tentu saja permintaan ini sulit dikabulkan. Masyarakat Dieng meyakini rambut anak gembel yang sudah dicukur harus dikembalikan ke Samudro Kidul dengan cara dilarung lewat Telaga Warna.

Menyaksikan pemutaran film ritual potong rambut gembel. Nuriya (memakai jilbab) anak yang dulunya juga berambut gembel, tapi sudah ruwatan potong rambut

Menyaksikan pemutaran film ritual potong rambut gembel. Nuriya (memakai jilbab) anak yang dulunya juga berambut gembel, tapi sudah ruwatan potong rambut

???????????????????????????????

Film dokumenter ruwatan rambut gembel

Lalu kapan rambut gembel dicukur? Warga Dieng percaya rambut gembel harus dipotong sebelum si anak beranjak dewasa. Hal-hal kurang baik akan mengikuti kehidupan sang anak jika rambut gembel dibiarkan terus tumbuh sampai usianya dewasa. Waktu memotongnya juga tak bisa sembarangan. Harus menunggu si anak minta dengan sendirinya. Jika sang anak belum meminta, rambut gembel akan terus tumbuh meskipun berkali-kali dipotong. Selain itu, orang tua juga harus memenuhi permintaan si anak yang disebut mahar. Mahar biasanya diucapkan si anak saat bangun tidur. Ditanya berulang-ulang pun jawabannya sama. Mahar yang diminta sangat beragam. Ada yang menuntut dibelikan sepeda, ayam, mobil-mobilan, dan lain-lain. Sri Nuriya, gadis cilik yang saat itu juga datang bersama Nafis, meminta kambing sebagai mahar ruwatan. Permintaan tersebut dikabulkan oleh orang tuanya dan ruwatan digelar. Kini rambut Nuriya tumbuh lurus dan dia tak lagi sakit-sakitan.

Sesi foto bareng pantang terlewatkan

Sesi foto bareng pantang terlewatkan

Si kecil Nafis meminta mahar yang unik dan sederhana. Es lilin tepatnya. Uniknya es krim itu harus dibelikan oleh Mbak Iti, istri Mas Alif. Dia tak mau dibelikan oleh orang lain. Permintaan yang sesungguhnya mudah dikabulkan, sayangnya Nafis belum minta potong rambut. Ritual pun belum dapat dilaksanakan. Jika mahal tak dipenuhi, ruwatan potong rambut diyakini bakal sia-sia. ”Dulu ada yang minta ular kendang, orang tuanya susah memenuhi. Ada lagi yang minta sepeda motor dari Kapolda Jateng, juga belum dapat dipenuhi,” kata Mas Alif.

Ruwatan pemotongan rambut gembel dahulu dilakukan secara pribadi. Sejak 2002 ruwatan digelar massal, bertempat di Candi Arjuna. Kegiatan ruwatan massal menjadi salah satu agenda kegiatan Dieng Culture Festival. Pada tahun 2015 acara tersebut digelar pada tanggal 1-2 Agustus. Sebelum ruwatan, Mbah Naryono harus melakukan ritual khusus di 20 tempat. Anak-anak gimbal kemudian dimandikan dengan air dari tujuh mata air, diarak dan dilempari beras kuning dan uang koin, lalu rambutnya dipotong oleh pemuka adat. Potongan rambut akhirnya dilarung di Telaga Warna.

Tak semua anak berambut gembel mengikuti ruwatan massal. Keluarga yang mampu secara finansial bisanya menggelar ruwatan pribadi. Yang terpenting semua syaratnya terpenuhi. Jika ada syarat yang terlewatkan bukan tak mungkin rambut gembel akan kembali muncul. Repot kan kalau nongol lagi? ”Di setiap RT di sini, ada dua hingga tiga anak berambut gembel. Satu desa sekitar 20 anak. Tak ada yang bisa menebak mana anak yang rambutnya berubah jadi gembel,” ucap MasAlif.

Sebuah pertanyaan terus berputar-putar di benak saya. Benarkah fenomena rambut gembel di Dieng ini tak bisa dijelaskan secara ilmiah? Apakah benar ada campur tangan ”Dewa” yang diyakini masyarakat setempat bersemayan di Dieng? Apa pun jawabannya, keberadaan anak berambut gembel adalah bagian tak terpisahkan dari tradisi masyarakat adat Dieng. Biarlah tetap begitu. Kita hanya perlu menghormatinya.

Baca Juga :

Bermain Sambil Belajar di Perkebunan Teh Tambi

Visit Jateng: Anak Gimbal dan “Warna” Telaga Warna

Kisah Perjalanan Teh Tambi

Pondok Wisata Tambi: Tempat Bermalam di Tengah Kebuh Teh

Menunggu untuk Menyatu

Empat Kuliner Wajib Wonosobo

From Plant to Pot : Tambi Tea Plantation

Main-Main Serius di Perkebunan Teh Tambi

Lebih Dekat dengan Anak Berambut Gimbal Dieng

Cerita Anak Gimbal Dieng

Keajaiban Anak Gimbal di Dieng

Kumpul Travel Blogger di Wonosobo

Keseruan Fam Trip Jateng 2014

Mencari Hangat dalam Semangkok Mie Ongklok

Mengenal Jawa Tengah Bareng Travel Blogger

ayo Piknik, Jangan Kayak Orang Susah

Kisah Kyai Kolodore dan Rambut Gimbal di Kalangan Masyarakat Dieng Plateau

Janji Kelak Menuju Dieng

Perjalanan Manis Buah Carica

Dieng, 5 Desember 2014

About yusmei
Tergila-gila dengan membaca dan menulis...Punya mimpi menelusuri sudut-sudut dunia

49 Responses to Rambut Gembel, Antara Rezeki dan Cobaan

  1. Pingback: Kumpul Travel Bloggers di Wonosobo

  2. Fahmi Anhar says:

    ITU KENAPA KITA JADI KAYA FOTO KELUARGA???

    *salim sama kokoh* | *maaf ya koh*

  3. Pingback: Ayo Piknik, Jangan Kaya Orang Susah

  4. dee nicole says:

    Fotomu nggendong anak wis jan pantes tenan mbak mei :p

  5. Pingback: Telaga Warna dan Pengilon Bukit Sidengkeng | Langkah Baruku

  6. nyonyasepatu says:

    wahh ada fahmi 🙂

  7. Pingback: Bermain Sambil Belajar di Perkebunan Teh Tambi | Alid is Little

  8. Pingback: Empat Kuliner Wajib Wonosobo | Alid is Little

  9. Pingback: Wisata Jawa Tengah: Keajaiban Rambut Gimbal di Dieng | Sang Vectoria Jenaka

  10. Alid Abdul says:

    Klo aku gembel aku bakalan minta tiket ke turki mbaaaakkk,,, eh iya kenapa kita kayak foto keluarga hahaha

  11. Rifqy Faiza Rahman says:

    Setuju, mbak! Respect! 🙂

  12. Pingback: From Plant to Pot: Tambi Tea Plantation - Discover Your Indonesia

  13. Dian Rustya says:

    Setiap nyimak cerita soal anak berambut gembel, langsung ngebayangin mereka ini keramasnya gimana ya? Pake shampo apa? trus rambutnya bisa disisir apa enggak?

    Seperti biasa mbak, paragraf penutupmu kereeeeen :’)

    • yusmei says:

      Eh kemarin juga dibahas tuh mbak, tp lupa gak ditulis. Mereka keramas kok seperti biasa dan pake shampo juga, tp ya rambutnya tetep kayak gitu 🙂

  14. ndop says:

    Wuih, ternyata tulisanku akeh sing salah. Maklum diriku gak begitu menyimak kemarin itu. “20 tempat” aku krungune “20 empat = 24”. Hahahaha. Oke saatnya mengoreksi.

  15. Pingback: janji kelak menuju dieng | tindak tanduk arsitek

  16. Gara says:

    Foto keluarganya bagus dan serasi, Mbak. Benar deh.
    Memang hal yang begitu sulit dijelaskan secara ilmiah kadang hal-hal sederhana dari prinsip teologis :hihi.

  17. Pingback: Perjalanan Manis Buah Carica | Jejak BOcahiLANG

  18. Foto keluargamu sungguh membuat kehebohan, mbak… semoga yang di Medan nggak panas hati pas baca ini hahahaha.

  19. yosbeda says:

    Adik kecil rambut gimbal di atas nggemesin banget ya. eh iya sebenarnya aku penasaran sama fenomena tersebut, udah ada belum sih penjelasan ilmiahnya, biasanya kan setiap fenomena2 unik ada penjelasan ilmiahnya 🙂

    • yusmei says:

      Katanya sudah ada penelitian-penelitian, tapi ya itu hasilnya belum tahu, Dosen UNS katanya juga pernah neliti, kapan-kapan pengin cari tahu kayaknya 😀

  20. Aku pikir past ada penjelasan ilmiahnya soal rambut gembel ini, Mbak. Entah karena faktor DNA atau perawatan selama dalam kandungan. Hanya saja mungkin belum ada lembaga yang berkompeten dalam bidang ini maumenerjunkan diri

    • yusmei says:

      Nah kemungkinan memang ada sih penjelasannya ilmiahnya. Tapi kalau masyarakat adat Dieng tetap meyakini hal itu sebagai sesuatu yang berbeda, kita hanya perlu menghormatinya kan? 😀

  21. adi pradana says:

    seru nih…. menyenangkan sekali.

  22. capung2 says:

    Memang cukup unik rambut gimbal orang2 di Dieng ini.

    Salahsatu dr sekian banyak bukti dari kuasa-Nya.

  23. Pingback: Mengenal Teh Tambi, Racikan Teh dari Tanah Terbaik | Against the Distance

  24. si Nafis kalau diamat-amati kok mukanya mirip2 gitu ya mbak sama kamu, huehehe 😀

  25. Baru tahu kalau punya rambut gimbal itu ribet. Dulu kupikir orang yg punya rambut gimbal itu gak pernah mandi. Ternyata sering shampoan juga toh. Oya Mbak, gimbal itu artinya gembel ya?

  26. Firsta says:

    Huaaaa.. kayanya waktu itu aku udah komen.. >.<
    Kok ga ada kok ga ada. 😦

  27. Firsta says:

    Judulnya bagus! Setelah baca artikel ini, aku juga jadi sadar kalau aku salah denger hahaha.. Aku kira dilarungnya bukan di Telaga Warna, tapi di laut..

  28. Pingback: Mencari Hangat dalam Semangkok Mie Ongklok | Males Mandi

Leave a comment