Kerak Telor Pak Tatang

Memasak kerak telor

Memasak kerak telor

Sudah lama saya penasaran ingin mencicipi kerak telor. Bagaimana bentuknya, cara pembuatannya dan juga cita rasanya.

Makanan khas Betawi ini sebelumnya hanya saya kenal melalui televisi dan majalah. Kalaupun sedang ke Jakarta, tak pernah kepikiran meluangkan waktu untuk berburu kuliner ini. Lagipula pedagangnya tak gampang ditemukan di sembarang tempat. Konon, cara paling mudah mencari kerak telor ya di arena Jakarta Fair (Pekan Raya Jakarta), sejak masih di Monas hingga dipindah ke Kemayoran.

Di Solo memang ada beberapa penjual kerak telor di saat Sekatenan. Tapi seorang teman bilang rasanya berbeda dibandingkan kerak telor di Jakarta. Alhasil, saya pun tak pernah tertarik membeli kerak telor di Solo.

Penantian untuk menyantap kuliner khas Betawi itu akhirnya kesampaian November tahun lalu. Saat sedang menikmati kehangatan sore di depan Museum Fatahillah, Kota Tua, Jakarta bersama tiga orang sahabat, pandangan saya tertumbuk pada seorang bapak tua penjual kerak telor. Tanpa berpikir panjang, saya langsung menghampiri. Kesempatan seperti ini tidak boleh disia-siakan.

Saat itu ada enam orang yang antri membeli dan semuanya anak muda. Sang penjual tampak santai melayani pesanan konsumennya. Dari kecekatan gerakannya saat memasak kerak telor, saya menduga dia sudah lama menggeluti profesi tersebut. Ternyata tebakan saya benar.

Pak Tatang

Pak Tatang

Setelah berbincang-bincang, saya akhirnya tahu penjual kerak telor itu bernama Pak Tatang. Umurnya sudah menginjak 63 tahun dan hampir sepertiga hidupnya dilalui dengan menjual kerak telor. Pak Tatang sudah jualan kerak telor selama 22 tahun. Meski hasilnya tak seberapa dan kadang mengalami pasang surut, Pak Tatang tak berikir untuk mencari pekerjaan lain. Bagi pria asal Condet, Jakarta Timur tersebut, berjualan kerak telor sudah menjadi garis hidupnya.

Pada hari biasa, Pak Tatang mampu menjual sekitar 60 buah kerak telor yang dibanderol Rp15.000 tiap porsinya. Penjualan kerak telornya meningkat drastis di malam minggu, bisa laku lebih dari 100 buah. Soal keuntungan, Pak Tatang enggan menjelaskan. Tapi, yang jelas beliau mampu mencukupi biaya sekolah anak-anaknya, yang salah satunya sedang menuntut ilmu di pesantren.

Seperti kebanyakan penjual kerak telor, Pak Tatang awalnya sering berjualan di arena PRJ di Monas. Kemudian dia pindah lokasi ke Kemayoran dan baru beberapa tahun lalu mendapat jatah mangkal di Kota Tua. Pak Tatang bilang perintah berjualan di area Kota Tua datang dari Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Fauzi Bowo. Saat pindah ke Kota Tua, Pak Tatang mendapat hadiah dua potong baju koko dari Fauzi Bowo.

“Anak-anak saya tak ada yang tertarik berjualan kerak terok. Saya berharap anak-anak saya memperoleh pekerjaan yang lebih baik,” tutur Pak Tatang.

Ya, layaknya makanan tradisional lain, kerak telor juga harus berjuang melawan arus modernisasi. Remaja Jakarta pasti lebih mengenal makanan cepat saji dibandingkan kerak telor. Kini juga semakin sulit menemukan anak muda yang mau berjualan kerak telor. Tak heran, penjual kerak telor kebanyakan sudah berusia lanjut. Perlahan namun pasti kerak telor semakin terpinggirkan.

Lalu bagaimana cara membuat kerak telor? Sembari mengobrol saya menyimak aksi Pak Tatang saat memasak. Bahan untuk membuat kerak telor terdiri atas beras ketan putih, telur ayam/bebek, ebi yang disangrai kering ditambah bawang goreng. Lalu juga bumbu yang dihaluskan berupa kelapa sangrai, cabe merah, kencur, jahe, merica , garam dan gula pasir. Sedangkan peralatan masak yang dipakai adalah penggorengan dan tungku arang.

Cara memasak kerak telor cukup unik. Telor dimasukkan ke wajan tanpa menggunakan minyak. Saat telor sudah setengah matang, wajan akan dibalik menghadap panas arang dari tungku lalu dibiarkan sehingga menjadi kerak. Setelah permukaan telor agak gosong, kerak telor diangkat dan diberi bumbu lalu siap dihidangkan.

So, bagaimana rasa kerak telor yang sudah lama saya idam-idamkan ini? Lidah saya menangkap cita rasa gurih dan legit. Tapi jujur kerak telor ini bukan makanan favorit saya. Rasanya kurang pas dengan lidah Jawa saya. Baru makan setengah porsi perut sudah kekenyangan dan tak sanggup melanjutkan makan. Tapi, paling tidak rasa penasaran saya terhadap kerak telor sudah terbayar lunas. Lega.

Jakarta, November 2012

About yusmei
Tergila-gila dengan membaca dan menulis...Punya mimpi menelusuri sudut-sudut dunia

31 Responses to Kerak Telor Pak Tatang

  1. Indradya SP says:

    Di Bandung malah gampang nemu kerak telor. Di hampir semua cabang Superindo pasti ada yg jual kerak telor di depannya. :)Tapi sama: menurut saya rasa kerak telor emang biasa, gak fenomenal banget 🙂

  2. buzzerbeezz says:

    Ihh.. Baru nov kemaren makan kerak telor? Aku udah bertahun-tahun lalu. Pas di PRJ. Dan itu pun pertama kali dan terakhir kayaknya. Hahaha

  3. nyonyasepatu says:

    Di medan gak pernah liat hiks

  4. belum pernah ngerasain kerak telor saya…

  5. omnduut says:

    Aku juga penasaraaaan banget sama kerak telor. Dari dulu, kalo temen-temen ke Jakarta selalu bilang, “bawain kerak telor dooong” Tapi sampe sekarang belom juga kecicip. Harus nyari langsung nih kayaknya 😀

  6. Sebentar lagi PRJ mau dibuka, mau icip2 lagi kerak telor untuk kesekian kali nya.
    Walau rasa nya biasa aj tapi kurang klop kalau ke PRJ ga makan kerok telor rasa nya 😀

    http://www.thedreamerblog.com

  7. Rasanya renyah pa kemlothak mbak 😀 Liat aksinya pake jungkir balik kayaknya asik tuh

  8. chris13jkt says:

    Pertama makan kerak telor buat aku juga agak aneh rasanya, karena lidahku juga lidah Jawa. Tapi setelah beberapa kali mencoba, sekarang malah kadang kangen makan kerak telor 😛

  9. kalau dikemas modern, mungkin bakal lebih banyak tertarik sama makanan2 tradisional semcam kerak telor ini ya, mbak?

    • yusmei says:

      bener banget mas…mungkin jika makanan2 tradisional seperti ini dijual ditempat yang “familier” bagi anak muda, bakal lebih dilirik. Masalahnya cari kerak telor atau makanan tradisional lain harus ke tempat2 tertentu, jadi kesannya terpinggirkan

  10. Dah lama tinggal di jakarta tapi blm perna nyobain, kayak nya bakal aku buru ke kota tua hahaha 🙂

Leave a comment