Memori Suram Lubang Jepang
September 13, 2013 42 Comments
Jika ada nasihat untuk memilih pasangan hidup dengan cermat, saran senada harusnya berlaku dalam memilih guide. Pemandu wisata bisa sangat memengaruhi kualitas sebuah perjalanan, apalagi untuk jenis wisata sejarah, seperti Lobang Jepang di Bukittinggi, Sumatra Barat.
Sebut saja siang itu saya sedang apes. Boro-boro mendapat pemandu yang informatif, cerdas, ramah dan sabar meladeni pertanyaan. Saya malah mendapat jatah guide tak sabaran yang buru-buru ingin merampungkan tugasnya. Ujung-ujungnya, saya pun hanya bisa menggerutu tiada henti. Nama guide itu? Saya sudah lupa.
Lubang Jepang atau kadang disebut Lobang Jepang adalah salah satu destinasi wisata utama di Bukittinggi. Lokasinya di kawasan Taman Panorama, tak jauh dari pusat Kota Bukittinggi. Ini adalah tempat untuk mendapatkan pemandangan terbaik ke Ngarai Sianok. Setelah membayar tiket masuk senilai Rp10.000, saya dan sahabat saya Krisna, memutuskan memakai jasa guide untuk menemani masuk ke Lubang Jepang. Sesuai urutan, kami mendapat jatah pemandu yang masih muda, mungkin umurnya belum sampai 30 tahun. Sebenarnya sejak awal saya memang sudah kurang simpatik dengan mas pemandu ini. Ketika kami memilih melihat-lihat dulu pemandangan Ngarai Sianok dari gardu pandang Panorama, si mas pemandu sudah kelihatan tidak sabar.
Nah, setelah puas mengabadikan gambar Ngarai Sianok, kami memulai petualangan di Lubang Jepang. Siang itu pengunjung cukup ramai. Heran juga padahal saat itu bukan libur akhir pekan. Lubang Jepang merupakan bunker peninggalan jaman penjajahan Jepang di Nusantara. Konon tempat itu dijadikan basis pertahanan Jepang pada saat perang dunia kedua. Jadi, Lubang Jepang didirikan pada periode 1942-1945. Pekerjanya adalah para tahanan pribumi, yang menurut cerita berasal dari luar Sumatra, seperti Jawa dan Sulawesi. Pemilihan tenaga kerja ini bukan tanpa alasan. Jepang sengaja mengambil tenaga dari jauh supaya proyek ini terjaga kerahasiannya. Seiring waktu, bunker pertahanan itu berkembang jadi tempat pengintaian dan juga pembantaian tahanan!
Pintu masuk dari Taman Panorama sebenarnya hanya salah satu jalan menuju Lubang Jepang. Ada dua pintu lainnya yaitu dari Jalan Ngarai Sianok dan di samping istana Bung Hatta. Namun hanya pintu di Taman Panorama yang terbuka untuk umum. Pada saat ditemukan (entah tahun berapa), diameter pintu masuk ke Lubang Jepang hanya 20 cm. Pemerintah kota Bukittinggi kemudian resmi membuka Lubang Jepang sebagai wisata sejarah pada 1984. Setelah dipugar, lebar pintu masuk dan lorongnya menjadi sekitar dua meter, sedangkan tingginya tiga meter, cukup nyaman untuk dilewati.
Sembari berjalan cepat, pemandu membawa kami menuruni Lubang Jepang. Anak tangga yang harus kami turuni sangat banyak, lebih dari 100 buah. Konon jarang yang hitungannya sama. Tapi saat itu memang tak berniat menghitung, jadi ya jalan lempeng saja…hehehe. Puluhan atau seratusan anak tangga itu akan membawa kami sampai di kedalaman 40 meter. Dan yang menyebalkan, mas pemandu kami berjalan terlalu cepat dan meninggalkan kami! Dia baru berhenti dan menunggu kami setelah tiba di lorong utama.
Menurut penjelasan mas pemandu, lorong bawah tanah di Lubang Jepang ini panjangnya 1,47 km. Terdapat 21 lorong-lorong kecil yang memiliki berbagai macam fungsi. Ada bilik serdadu militer, ruang rapat, lorong penyimpanan amunisi, ruang makan romusa, dapur penjara, ruang sidang, ruang penyiksaan, penjara, tempat pengintaian, tempat penyegapan dan pintu pelarian. Masing-masing tempat telah diberi papan nama penjelasan. Kadang pemandu kami mau menjelaskan, tapi lagi-lagi dengan seenak hati. Huh!
Penerangan di dalam lorong cukup memadai, meskipun suasana masih tetap remang-remang. Lampu-lampu neon dipasang di berbagai sudut. Lorong ini mengingatkan saya dengan Chu Chi Tunnel di Vietnam. Namun lorong di Lubang Jepang memang lebih lapang dan tinggi. Menurut mas pemandu, dinding terowongan masih dipertahankan keasliannya. Konon terbuat dari pasir yang akan semakin kuat jika dicampur air. Dinding batunya bersekat-sekat untuk meredam suara agar tidak berjalan keluar.
Suasana di dalam terowongan awalnya terasa biasa-biasa saja. Apalagi di beberapa bagian, sentuhan modernitas sudah sangat terasa. Namun, di sebuah lorong utama yang bertuliskan “Pintu Pelarian” aura suram mulai terasa. Di belakang pintu tersebut ada cahaya masuk yang berasal dari lubang berpagar. Nah, di sebelah kanan lorong tersebut ada lorong lain yang berujung ke penjara. Itu adalah tempat memenjarakan para pekerja yang membangkang atau tawanan lain. Kemudian di sisi kanan penjara terdapat sebuah ruangan bertuliskan dapur.
Semula saya mengira dapur tersebut bermakna harfiah sebagai tempat untuk memasak. Ternyata saya salah. Pemandu kami menuturkan, dapur tersebut sejatinya adalah tempat pembantaian! Ya, pembantaian itu dilakukan di meja batu yang terletak di pojok ruangan. Saya langsung bergidik ketika memandangi meja tersebut dan membayangkan kejamnya pembantaian yang pernah terjadi di masa lampau. Setelah dibantai korban akan dibuang melalui sebuah lubang kecil di pojok ruangan. Menurut mas pemandu, lubang itu berujung ke Ngarai Sianok sehingga jasad korban akan sulit ditemukan. Mengerikan!
Cerita seram itu masih melekat di benak ketika kami berjalan menuju pintu keluar. Pemandu kami semakin tak berselera untuk bercerita. Saya hanya bisa menatap iri rombongan lain yang mendapat pemandu yang ramah dan tak henti memberi penjelasan menarik. Nyesel juga merogoh kocek sebesar Rp50.000 untuk pemandu asal-asalan seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi?
Sampai di pintu keluar, kami disambut hujan deras. Terpaksa kami berteduh dulu. Sembari menatap rintik hujan, saya mencoba mengenyahkan bayangan seram tentang berbagai peristiwa yang terjadi di Lubang Jepang pada masa lampau. Berbagai cerita mistis tentang Lubang Jepang konon juga terus bermunculan. Cerita masa lalu Lubang Jepang memang suram. Tapi, sejarah tetaplah sejarah. Kita harus bisa menerimanya sebagai bagian tak terpisahkan dari negeri ini. Seperti saya juga harus menerima dengan lapang dada tingkah guide kami yang asal-asalan itu.
Bukittinggi, Juni 2013
Pemandune baru sakit perut.harap maklum ^.^
eh,lubang pembuangan mayatnya kayanya ganti fungsi jadi pembuangan sampah tuh.
Pemandune mungkin lagi PMS mas #padahalcowok
Iya tuh, biasa kebiasaan buruk di indonesia yang susah dihilangkan..buang sampah sembarangan 😦
50 ribu guide tu tarif resmi?apa ngasih tip lagi?
katanya tarifnya segitu,,,tapi kok kayaknya kemahalan deh mas. Soale itu uangnya langsung dikasih ke guide bukan di loket…nek pemandune koyok ngono, 20 ribu cukup (masih bete hihihi)
Kalo yg di ulen sentalu tu guidenya bayar atau dah disediain?
guide include tiket masuk mas…25 ribu. Tapi guide minimal buat dua orang, nek ke sana mending 2 orang, timbang harus nunggu barengan 🙂
baru mau bilang guidenya lagi pms wkwkwkwk
PMS sama kebeleeeet :-__-
buatku 50 mahamahal…. guide ramah di museum bali aja 50 kutawar jadi 20 mbak haha, padahal nemeninnya 1 jam hahaha
nyesel habis pokoknya…tau gitu kasih Rp10 ribu sajaaaaa
ada bayangan2 gak yang muncul hihihih
untungnya enggak mbaaak…sempet kepikiran juga jangan2 ada foto aneh yang nyasar ke kamera…hahaha
aku belum sempet nulis gua jepang nih …
ayo mas buruan nulis, biar referensi tentang lubang jepang tambah banyak :))
Waktu kau masuk kesini, bau nya anyir banget kayak amis gitu. Trus ngak ada wistawan lain, hanya ada rombongan gw aja jadi pingn cepet2 keluar merinding
waah kalau semi pasti bikin merinding tuh mas…kemarin untung pas rame jadi oke2 saja 🙂
Untung kami pas ke sana dapet guide senior yg enak (sejak 1989 jadi guide!). Lama nemeninnya. Nyeritain strategi2 perangnya Jepang juga. Padahal kami cuma berdua. Seru deh.. 😀
guide-nya pake kacamata ya ri? kayaknya kemarin guide rombongan sebelah udah senior banget, trrus ceritanya lengkap poooool…bikin iri maksimal
*merinding*
pas sampe tengah, sempet ngira juga klo dapur itu ruang untuk memasak makanan para tentara & tahanan. Ternyata ………..
paragraf pembuka dan penutupnya asyik ^_^
bayangin meja itu sudah mencabut banyak nyawa mbak…hiiiii
aku gak suka loh Yus masuk kedalam ini 😦 entah kenapa rasanya gimana gitu huhuhu
rasanya ada yang ngikutin ya non? hihihi
Pokoknya merinding2 gitu tapi aku emang gak suka masuk gua/terowongan sih. Serem aja takut gak bisa keluar lagi hihi. Ehh masih ada telp umum gak didalam terowongan?
eh brarti kalau ke chu chi tunnel di ho chi minh gak suka juga dong non? seruuu yang itu. Telepon umum masih ada gak ya? aduh gak terlalu merhatiin, masnya pemandu jalannya cepet bener, jadi keburu-buru -__-
Gak haha. Aku skip tunel itu pas ke viet. Ogah masuk tempat sempit2 gt yus
pas masuk tunel itu aku juga sampai ujung non…keluar di tengah2…gak kuat hahaha
Gak kuat kenapa?
lubangnya kan kecil, harus menunduk gitu jalannya, nah agak panas dan pengap rasanya…sebenernya masih kuat nglanjutin, tapi salah satu temenku sudah gak tahan, ya udah nemenin dia keluar…ada beberapa pintu keluar memang buat yang gak kuat sampai ujung lorong hehehe
Wedeh, males bayangin mereka yg tinggal disana dulu hehe
Memangnya itu penentuan guidenya berdasarkan urutan gitu ya? Gak bisa milih? Dulu seingatku aku nyelonong sendiri tanpa guide sih, tinggal ngikutin rombongan orang lain aja.
Nah itu saya bingung juga pak kris, pokoknya pas minta guide di loket, langsung dikasih mas yang itu. Mungkin kalau saya langsung nyelonong malah bisa dapat guide yang lain hehehe
wisata sejarah yah? semcam lawang sewu kalo di Semarang.. keren!
yoiii…tapi sejarah yang berbeda hihi
iiih aku juga pas kesini juga agak-agak merasa merinding disko gitu dehh, trus langsung ngibrit nyari tempat yang rame. Emang dasar akunya aja yang penakut kali ya 😀
hihihi kalau pas sepi pasti serem ya dit,,,tapi kalau pas rame gak kerasa merinding blas…kapan2 harus nyoba lawang sewu dit…:)
itu gak bisa nebeng sama guide orang lain kah? :p
jadi inget gua jepang yang ada di TAHURA Bandung
kayaknya bisa, kalau ke sana mending nebeng rombongan orang…irittt. Wah kapan2 harus ke Tahura, kebetulan bulan depan mau ke bandung 🙂
hehehe sama, kemaren dulu waktu ke Lawang Sewu Semarang, dapat guide yang fungsinya gak jelas, gak cerita apa-apa, malah lebih luas pengetahuan saya daripada dia. padahal itu guide resmi loh. yah hitung-hitung beramal.
waah dulu saya beruntung pas ke lawang sewu, guidenya lumayan luas pengetahuannya. Mungkin harus ada standarisasi guide ya di tempat2 wisata, misalnya harus ada pelatihan terlebih dahulu. Jadi pengunjung puas 🙂 . Makasih sudah mampir 🙂
Bulan Juli kemarin, cuma bisa sampe pintu doangan :((
Tempat wisatanya sepi banget, dan pas hari2 pertama puasa pula, baru nyium udara2 lembab dari tangga turun aja aku udah ga berani masuk 😦
aduh sayang banget udah sampai sana gak jadi masuk mei..padahal lumayan seru…bisa minta temenin sama mas2 guide yang di sana kan 🙂
Pingback: Bersantai di Bukittinggi | Usemayjourney