Wayang Orang Sriwedari dalam Pusaran Masa
November 8, 2013 56 Comments
Masa kejayaan pertunjukan Wayang Orang Sriwedari sampai di telinga saya hanya berwujud rangkaian cerita. Ketika pertunjukan itu menjadi primadona pada periode 1960 hingga 1970-an, saya belum hadir di dunia
Wayang Orang Sriwedari yang saya kenal sangat berjarak dengan kata hingar bingar. Lebih tepat diasosiasikan dengan sepi dan menua. Jangankan menggemari, berusaha menyempatkan waktu untuk menonton pertunjukan pun terasa berat. Sejujurnya, meski bersekolah dan bekerja di Solo, baru dua kali saya menyaksikan pentas Wayang Orang Sriwedari. Menyedihkan bukan?
Persinggungan saya dengan Wayang Orang Sriwedari bertolak belakang dengan Pak Danang Eram Setiawan. Pria murah senyum itu menyimpan memori melimpah. Energi Pak Danang seperti tak ada habisnya saat menumpahkan kenangannya tentang Wayang Orang Sriwedari. Ayahnya, Pak Prajak, seorang pemain legendaris kesenian andalan Solo tersebut. Pak Danang pun pernah bermain, meski tak terlalu lama.
Danang kecil sering diajak ayahnya menonton pertunjukan wayang orang di Taman Sriwedari. Di masa itu, menikmati pentas butuh perjuangan keras karena peminatnya bejibun. Maklum, dahulu pilihan hiburan, terutama yang murah, tak sebanyak sekarang. Penonton yang bergelantungan di kawat demi menyaksikan pertunjungan wayang orang menjadi pemandangan lazim. Gedung selalu penuh. Ketenaran Wayang Orang Sriwedari mendatangkan sejumlah undangan penting dari Jakarta. Mulai pentas di Taman Mini Indonesia Indah, Gedung MPR, hingga di istana kepresidenan. Saat itu Wayang Orang Sriwedari masih diperkuat oleh personel legendaris seperti Pak Rusman (Gatotkaca), Bu Darsi (Pergiwa), Pak Widodo, Pak Surono hingga Pak Prajak (Bagong). Seleksi pemain sangat ketat.
Jika ingin bergabung dengan Wayang Orang Sriwedari harus bermodal mendekati sempurna. Suara pas, pinter nembang, nari dan berderet syarat lainnya. Untuk menjaga kualitas, tokoh-tokoh utama selalu menghormati para pemeran kecil. Semuanya saling melengkapi. Tak heran, pertunjukan selalu dinanti dan berlimpah penonton.
“Penonton yang suka dengan pertunjukan [di Gedung Wayang Orang Sriwedari] suka melempar barang-barang ke panggung sebagai hadiah. Ada yang melempar rokok, bahkan sampai ada yang memberikan radio,” kenang Pak Danang, yang menjadi narasumber di acara Blusukan Solo di Taman Sriwedari, pertengahan Oktober lalu.
Seiring bergulirnya waktu, pentas Wayang Orang Sriwedari yang telah berusia lebih dari 100 tahun itu meredup. Pertunjukan kini sekadar rutinitas. Nafsu meluap-luap para penonton sudah menjadi cerita usang. Meredupnya pamor Wayang Orang Sriwedari semakin terasa pada era 1990-an. Masa-masa itu jarang mencuatkan kisah manis.
“Pengalaman paling berkesan ya saat tahun 1998. Setelah peristiwa kebakaran Mei, tak ada penonton yang datang. Tapi kami tetap main meskipun tak ada orang yang menyaksikan. Itu terjadi selama beberapa saat,” urai salah seorang pemain Wayang Orang Sriwedari, Joko Naryoto.
Metamorfosis pertunjukan pun akhirnya tak terelakkan. Kecanggihan teknologi dihadirkan, cerita terpaksa dipadatkan. Durasi pertunjukan dipangkas. Kini tak ada lagi pertunjukan hingga pukul 02.00 dini hari. Pentas dimulai pukul 20.00 dan rampung dalam tempo tiga jam. Penonton tak perlu begadang semalam suntuk. Gedung juga sudah dilengkapi AC. Tata kostum, tata panggung dan kostum juga dimordernisasi. Tapi impian melihat penonton datang berbondong-bondong lagi seperti dulu sulit terwujud. Hanya pada Sabtu malam dan momen-momen tertentu jumlah penonton bisa mengundang senyum bahagia.
Realitas nasib Wayang Orang Sriwedari saat ini tak seindah cerita Cinderella. Pentas pada 19 Oktober 2013 lalu bisa menjadi gambaran.
Saat itu hujan deras turun menjelang pertunjukan. Saya dan teman-teman peserta acara Blusukan Solo kemudian diajak masuk. Di dalam gedung, saya langsung merana. Gedung pertunjukan bocor di sana-sini, hingga membuat sebagian lantai tergenang air meski tidak tinggi. Panggung masih kosong melompong. Pertunjukan memang belum saatnya dimulai. Pak Danang kemudian memandu kami ke belakang panggung, tempat para personel Wayang Orang Sriwedari mempersiapkan diri. Tak ada perias professional. Para pemain berias sendiri-sendiri. Tak butuh waktu lama karena semuanya sudah mahir.
Naskah dialog tak diperlukan dalam pentas Wayang Orang Sriwedari. Gambaran besar cerita ditulis di papan tulis. Pemain tinggal membaca dan kemudian berimprovisasi. Menjelang pertunjukan, sutradara membagi peran. Prosesnya sekitar 10 menit. Para pemain mendengarkan sembari sibuk merias wajah. Semuanya seperti sudah diprogram otomastis. Tak lama berselang, pentas dimulai. Jarum jam menunjukkan sekitar pukul 20.30 ketika pertunjukan bergulir. Malam itu lakonnya Arjuna Bantheng.
Malam itu penonton cukup penuh, lebih dari 40 orang. Maklum kebetulan pas malam Minggu. Penjual ronde beberapa kali hilir mudik masuk mengantar pesanan penonton. Sejumlah penonton membawa bekal makanan dari rumah. Suasananya hangat khas Jawa. Namun, pemandangan di depan mata tak sepenuhnya melegakan. Wajah-wajah muda tetap menjadi minoritas. Tetapi saya juga cukup senang. Sebagian orang tua yang menonton pertunjukan malam itu membawa serta anak-anak mereka yang masih kecil. Niat untuk mengenalkan sang buah hati dengan seni tradisi pantas diapresiasi. Namun, jumlah penonton yang cukup melimpah seperti ini sulit ditemui pada hari-hari biasa. Wayang Orang memang tak lagi berstatus primadona hiburan.
Masalah bukan hanya terpusat pada minat penonton. Regenerasi juga mendesak dilakukan. Sebagian besar pemain Wayang Orang Sriwedari sudah mendekati masa-masa pensiun. Ya, mereka memang berstatus pegawai negeri sipil dan tentu punya masa pensiun. Pengganti harus segera ada, untuk menjamin keberlangsungan pentas. Dalam sepekan, pertunjukan cuma libur pada Minggu malam dan Senin malam.
Tantangan terbesar Wayang Orang Sriwedari adalah bagaimana mengembalikan minat masyarakat terhadap wayang, terutama kalangan muda. Persoalan serupa sejatinya juga dihadapi kesenian dan kebudayaan tradisi di seluruh penjuru Indonesia. Harus diakui ini persoalan pelik. Wayang Orang Sriwedari harus berjibaku dengan budaya popular yang dianggap lebih keren dan mudah diterima anak muda. Langsung menuding anak muda tak peduli budaya sendiri juga sangat naif. Solusi harus dicari bersama-sama.
Apa yang dilakukan pemerintah kota Solo dengan menjamin keberlangsungan Wayang Orang Sriwedari sudah benar. Tapi, tak ada salahnya jika dukungan ditambah, misalnya dengan menggenjot event-event dengan konsep menarik dan juga menggencarkan promosi. Penggiat dan pemerhati wayang juga pantang lelah berjuang. Terus melakukan inovasi pada pertunjukan wayang sah-sah saja supaya jarak dengan kalangan muda tak terlalu lebar. Tentunya tanpa mengabaikan esensi dan nilai-nilai wayang orang.
Orang tua, yang lebih akrab dengan kesenian tradisi, punya tugas mengedukasi putra-putri mereka. Tak ada ruginya sesekali mengajak anak mengenal Wayang Orang Sriwedari maupun kesenian tradisi lain, di sela-sela rutinitas mencari hiburan ke mal, bioskop atau menonton konser musik. Lalu apa yang harus dilakukan anak muda? Cukup dengan peduli. Sesekali menonton wayang atau ketoprak tak akan menurunkan kadar kekerenan. Jika bukan kita yang mencintai budaya sendiri, siapa lagi yang akan peduli? Sentilan ini juga saya tujukan kepada diri sendiri yang memilih pulang di tengah-tengah pertunjukan wayang orang karena perut menagih lezatnya bestik dadar lidah.
Solo, 19 Oktober 2013
🙂 persoalan mendasarnya adalah tidak adanya pemahaman tentang lakon wayang disekolah. Ramayana dan Mahabharata(jawa=barathayudha) sekarang hanya tinggal nama. Kalah dengan k-pop.
Hmm..bestiknya ga bagi2 nih?
Bener mas, jaman dulu mending ada serial tivi Mahabarata dan Ramayana *halah lawas tenan hahaha. Bestike uenaaak, tapi saiki larang 🙂
Oh ya..sesekali cb nonton wayang di RRI
Udah pernah sekali nonton di RRI, pas liputan mas hahahaha
pengen nonton wayang orang langsung… dulu jaman SD pernah ada di Lampung tapi skrg ga ada lagi..
Wah di lampung ada wayang orang juga mas. yang main pendatang dari Jawa atau orang lampung asli itu mas? 🙂
60% persen orang lampung mah orang jawa mbak hehehe… disini malah ada pendatang dr lampung jualan mie ayam, ditulisnya Mie Ayam khas Lampung :p
Hahaha parah tuh yang jualan mi ayam
orang jawa donk, dulu ada gedungnya khusus terus sempet pindah dan menghilang. di Lampng kan banyak perantauan jawa
sayang sekali ya mas, gedungnya sudah menghilang, padahal itu aset budaya 😦
kalo yang ini pernah nonton, tapi jaman aku cuilik dan udah lupa ceritanya… aku paling kagum dengan efek panggung yang digulung dan tiba2 ganti panggung…ajaib 🙂
aku pas kecil gak pernah diajak ke sini hiks. Iya sekarang efeknya tambah canggih lho isna, jd wajib nonton lagi kalau pas mudik 🙂
aku minggu depan mudik mbak yusmei.. ke ambarawa yook… hehehe… aku temenin muter2 ke benteng willem, gereja jago sambil makan serabi kuah “mbah rowo” 😀
waduh, gak bisa libur na, kalau cuma libur sehari nanggung hahaha. Kamu main ke solo aja :)))
di medan udah pasti gak ada 😦
Pastinya non 🙂
Dan aku barusan selesai nulis Sriwedari, la kok kita sehati ya mbak hahaha. Topiknya fokus GWO banget… Mantapp deh 😀
hahahaa ternyata nulis juga hari ini, langsung meluncur. Iya lim, pas blusukan itu memang dah niat mau fokus nulis tentang wayang orang sriwedari, makanya agak banyak nanya dulu 🙂
wah hahaha… yo wis.. kapan2 🙂 aku rencana mau bawa adek2 nonton sokola rimba tanggal 21, mungkin ke semarang-solo-jogja…
kalau beneran mampir solo kabar2 yaaa 🙂
saya juga suka wayang loh, tapi kebanyakan yang saya tonton wayang kulit dan ketoprak..
belum pernah nonton wayang uwong..
Jadi malu nih mbak, saya jarang banget nonton wayang uwong, wayang kulit apalagi ketoprak. Paling wayang kulit pas bagian goro2…monggo mampir ke sriwedari mbak kalau ingin menyimak wayang uwong 🙂
mbak, minta nohpnya dong… siapa tau bisa kopdar, pm ajah email/fb/twit 🙂
okay na…ntar tak dm lewat twitter atau inbox FB yaa
Di tahun 1990-an, wayang orang masih menjadi tren di kampung saya (Klaten), mulai tahun 2000-an sudah hidup-mati. Sekarang paling ada wayang kulit..
Beruntung banget mas dulu masih sempat nonton pertunjukan wayang orang di kampung sendiri. Kalau saya paling yang kadang nonton ya wayang kulit. Wayang orang pertama kali lihat, ya di Gedung Wayang Orang Sriwedari itu. Eh klatennya mana mas? 🙂
Udah lama banget gw gak pernah nonton wayang, terakhir kao gak salah pas SD. pengen juga sih sekali-kali nonton wayang tapi agak susah atau gwn nyatau aja kali ya? hehehe..
Salam,
http://travellingaddict.blogspot.com
memang sekarang agak susah ya nyari pertunjukan wayang orang. Tapi kalau di solo gampang, soalnya rutin di Sriwedari. So, saatnya berkunjung ke solo 🙂
Sudah ada regenerasi belom ya Mbak? Kalau sudah sepuh semua dan mendekati pensiun gitu, nanti nggak ada lagi pementasan lama-lama.
Ohiya, kalau saya nonton world of wayang di Kompas TV, wayang kulit malah sekarang ini banyak variasinya, ada yang pakai listrik dan animasi segala.
Kalau wayang orang, banyak yang tertarikkah menjadi regenerasinya?
Katanya sekarang ada anak-anak magang gitu mas, tapi kalau pemainnya sebagian besar sudah sepuh2. tapi semoga segera ada regenerasu, biar pertunjukan tetap lestari.
Wah, malah belum pernah liat yang variasi wayang kulit seperti itu. Mungkin menarik juga ya konsepnya diterapkan di kesenian2 tradisi lain, asal pakemnya tetap dijaga 🙂
Usul, wayang orang sriwedari kon manggung neng SIPA lak sing nonton ribuan heheheheh
Nah boleh juga kui mas, dijamin sing nonton mbludak heheheh…cc : pak widhi 🙂
Kalau aku nanti punya anak, Mbak, aku bertekad bawa anak-anakku lebih banyak ke museum atau pertunjukkan tradisional 🙂
Btw tadi abis dari blognya Halim, dia nulis sekelumit soal wayang orang Sriwedari, aku mbatin, di mana ya bisa baca lebih banyak soal ini, eh dirimu nulis ^_^ pucuk dicinta ulam pun tiba! Yeay
Amiiin mbak, setuju banget. Lebih baik dibawa ke museum2 atau pertunjukan tradisional biar kenal identitas bangsa sendiri ya mbak. 🙂
Kebetulan nonton wayangnya rame2, termasuk sama Halim juga, Eh akhirnya pengen banget nulis soal wayang. 🙂
Untuk membawa generasi muda, apalagi yang berbeda daerah memahami wayang, kendalanya adalah bahasa. Aku pernah ngajak anak-anakku nonton wayang kulit. Pertama sih masih runut menterjemahkan apa yang dikatakan dalang. Lha pas goro-goro aku lebih banyak ketawa sendiri sehingga akhirnya anak-anakku mutung dan ngajak pulang 😦
Benar sekali pak, makanya tidak adil menyalahkan anak-anak yang tidak tertarik dengan wayang dan lain-lain. Butuh proses dan tidak mudah. Mungkin kesenenian tradisional harus mau bsedikit mengalah pada kekinian. Tapi setidaknya Pak Kris patut dicontoh, sudah berusaha mengenalkan anak-anak dengan wayang. Tidak semua orang tua sempat ya pak 🙂
agenda wajib kalo aku ke Solo nih, mba .. anterin yo .. 😀
Bereess!
Bagus…….. Apalagi di kelola secara profesionalN pasti lebih bagus dari ramayana tailand
Semoga ya…tp sampai saat ini belum ada gebrakan pengeloaan, jadi masih begitu2 saja 😦
Disaat masih duduk di bangku sd (th 1973) saya pernah menonton WO Sriwedari Solo bersama keluarga dimana Darsi,Surono serta tokoh legendarisnya lainnya berkiprah.Penonton yg tdk bisa masuk bisa menonton melalui jendela kawat yg berada disisi kiri dan kanan gedung suasana sangat tramai pd saat itu.Pertunjukan berlangsung sekitar 5 jam yaitu malam dan minggu pagi (matine show).Saya senang dgn gambar dekorasi dan tokoh2 wayang yg ada di panel dinding maupun panggungnya.perlu diketahui bahwa promosi wo dilakukan melalui mobil yg berkeliling kota maupun RRI Solo.Pada th.2010 disuatu malam saya kembali menonton WO Sriwedari dengan durasi hanya dua jam dengan generasi pemeran wayang dan suasana yg sangat berbeda dimana sudah tidak ada greget atau”elan/jiwa”,para awak serta para pemeran wo nampak hanya sekedar menjalankan kewajjiban mereka secara datar.Jadi kalau dinilai mereka hanya dpt angka 6.Namun ada yg menarik yaitu saya masih melihat lukisan dekorasi dan tokoh wayang spt buto,bima persis sama persis spt apa yang saya lihat puluhan tahun yg lampau…seolah-olah tidak lekang dimakan jaman!
Menarik sekali kisahnya pak. Saya jadi punya bayangan lebih detail tentang pertunjukan wayang orang Sriwedari pada masa jayanya. Yang jadi catatan tentang pertunjukan sekarang yang terkesan tanpa jiwa. Ini tentu harus dibenahi jika kita ingin melihat Wayang Orang Sriwedari digemari lagi. Terima kasih sudah mampir dan berbagi cerita pak 🙂
umur saya 20th, saya wayangan sudah seumur hidup dr mulai sya msh digendong
hasilnya ya kya gni, tiap hri ngutek2 wayang, wayang kulit suka nonton, wayang uwong dlu pas msh smpet ya selalu dtng ke RRI Solo,
jgn kwatir, di Solo ada SMKI/SMKN8,,, yg khusus mengajarkn seni tari, pedalangan, karawitan, & musik
di Solo bnyak seniman, yakin klo disini masih buanyak bahkan ratusan atau ribuan anak2 muda sorti sya yg suka wayang bahkan mempelajari tentang wayang
Wah senang sekali ketemu Nurz yang suka, peduli, bahkan nyata mempelajari tentang wayang. Ayo kapan-kapan ketemuan Nurz, pengin ngobrol banyak hal…semoga dengan adanya sosok2 seperti Nurz, wayang di Kota Solo tetap lestari dan berkembang 🙂
ouwh iya boleh mbak, biar tambah referensi jg
stiap tgl 26 coba ke SMKI Solo mbak, ada acaran nemlikuran
kadang tari2an jawa, kdang wayang orang jg mbak, saya selalu liat kog mbak
Iyaa kalau acara nemlikuran udah pernah lihat. Bener ya, yuks agendakan ketemuan nurz. Di Sriwedari atau di mana gitu,.,,hehehe
ok lah mbak tp bisanya mlem mbak,,,
krna kerja trus, susah bagi waktunya hehehe
Aku juga kerja sampai malem nur, biasanya baru kelar jam 9-an. Ntar kalau ada event mungkin ya 🙂
iya mbak,,,
punya fb engga mbak,,, ntr tag kasih nmer hp
Ada nur. Fb-ku Yus Mei Sawitri, twitter juga ada @usemay
udah tag add mbak
Siap, sudah di-oke 🙂
Nonton lagi monggo di sriwedari, saya mulai ketagihan
Siappp…kapan-kapan Insya Allah nonton lagi
lahat yo ono wayang uwong… hehehrr
Lahat? Wah baru tahu saya hehehe