Jejak Kejayaan Bengawan Solo

Menyeberangi Bengawan Solo

Menyeberangi Bengawan Solo

Seorang teman asal Kalimantan pernah menumpahkan uneg-uneg. Ketika hendak berangkat ke Jawa untuk menuntut ilmu di salah satu perguruan tinggi di Solo, dia mengaku menyimpan fantasi tinggi terhadap sungai Bengawan Solo.

Nama besar Bengawan Solo memang tak hanya menembus sudut-sudut Pulau Jawa. Lagu ciptaan maestro keroncong asal Solo, Gesang, berjudul Bengawan Solo berkontribusi besar sehingga kepopuleran sungai tersebut menerjang garis batas pulau dan negara. Jangankan Kalimantan, Sulawesi atau Sumatra, orang-orang Jepang dibuat terkagum-kagum dengan lagu ciptaan Gesang tersebut dan berujung rasa penasaran untuk melihat Bengawan Solo dengan mata kepala sendiri.

Beberapa tahun lalu ketika menghadiri sebuah acara penyerahan royalti dari Jepang kepada almarhum Gesang atas lagu Bengawan Solo, saya baru benar-benar menyadari besarnya pengaruh lagu tersebut. Serombongan orang Jepang rela jauh-jauh datang ke Solo hanya karena mengagumi lagu yang diciptakan pada 1940 tersebut. Bisa jadi mereka juga penasaran ingin melihat langsung wujud sungainya. Entah apa pendapat mereka setelah melihat langsung sungai legendaris tersebut.

Kembali kepada teman saya, dia mengaku kaget setelah melihat langsung kondisi Bengawan Solo. Ternyata sungai terkenal itu tak semegah fantasinya. Menurutnya, Bengawan Solo kalah garang dibandingkan sungai-sungai besar di Kalimantan yang berukuran jumbo dan sampai saat ini masih menjadi urat nadi kehidupan masyarakat sekitarnya. Kejayaan Bengawan Solo yang terekam dalam lagu legendaris milik Gesang seolah lenyap tanpa meninggalkan banyak jejak. Benarkah?

Mbah Sis

Mbah Sis

Keingintahuan saya tentang masa kejayaan sungai sepanjang sekitar 600 kilometer tersebut cukup terjawab pertengahan April lalu ketika bergabung dengan kegiatan Blusukan Solo. Akhirnya saya punya sebentuk gambaran tentang kisah kejayaan Bengawan Solo. Setelah mengunjungi pintu air Demangan, rombongan Blusukan Solo melaju mengayuh pedal sepeda menuju Kampung Putat, Kelurahan (Kampung) Sewu, Kecamatan Jebres. Kami diajak menemui seorang pria berusia lanjut, namun masih tampak energik. Mbah Sis namanya. Dari bibir beliau lah, mengalir cerita tentang riuh rendah Bengawan Solo. Konon di daerah Putat dulunya ada sebuah pulau kecil. Namun pulau tersebut akhirnya hilang akibat proyek DAS Bengawan Solo.

Saat mengedarkan pandangan ke sekeliling, tak terlihat pemandangan istimewa. Tempat itu lazimnya daerah pinggiran sungai yang sedikit terlupakan oleh zaman. Namun, dari bibir Mbah Sis meluncurkan cerita kejayaan yang pernah menghampiri kampung tersebut. Daerah pinggiran sungai itu dulunya adalah bandar atau pelabuhan yang cukup ramai. Kapal-kapal dari Jawa Timur, khususnya Ngawi, berukuran besar sering berlabuh di pelabuhan Kampung Putat. Menurut Mbah Sis, ukuran perahunya lebih besar daripada truk tronton, bahkan ada yang dua kali lipat truk biasa. Karena ukurannya besar, perahu-perahu tersebut harus dijalankan oleh 10 orang. Pelabuhan di Kampung Putat didominasi oleh perahu yang mengangkut kayu, arang dan gamping. Biasanya perahu tersebut dipakai orang-orang Ngawi untuk kulakan barang-barang di Solo.

Dulu tempat ini adalah pelabuhan di Kampung Putat

Dulu tempat ini adalah pelabuhan di Kampung Putat

Beringin di Kampung Putat ini ditanam pada 17 Agustus 1945

Beringin di Kampung Putat ini ditanam pada 17 Agustus 1945

Rumah-rumah ini menggantikan area kuliner tempo dulu di Putat

Rumah-rumah ini menggantikan area kuliner tempo dulu di Putat

Sekitar pelabuhan Putat dulunya juga banyak berdiri rumah makan untuk plesiran. Beberapa rumah makan yang ternama adalah Sri Rejeki milik Kamti dan Pulau Bengawan milik Bekel Wirosarkoro. Detak kehidupan Bengawan Solo semakin meriah karena dulu rutin digelar lomba panahan di sekitar sungai dan juga lomba getek, yang terakhir digelar pada 1957.

Kampung Sewu dulu juga punya Pelabuhan Beton yang merupakan salah satu dermaga ke-43 dari dari titik-titik dermaga di Bengawan Solo mulai dari Surabaya, Bojonegoro, Ngawi, Sragen hingga terakhir Sukoharjo. Kapal-kapal yang berlabuh Beton karakteristiknya berbeda dengan di Putat. Bahan bawaan kapal yang merapat di Beton antara lain kain batik dan bumbu-bumbu.

Seiring pergantian decade, kejayaan pelabuhan Putat dan Beton meredup, kemudian lenyap. Peran vital trasportasi air di sungai terpanjang di Jawa itu terkikis oleh derap roda kereta api dan angkutan darat lainnya. Keberadaan warung makan di seputaran Bengawan Solo tak mampu bertahan dari terpaan banjir besar di Kota Bengawan pada 1966.  Di tempat yang dulunya menjadi area kuliner, kini telah bertransformasi menjadi pemukiman penduduk. Sayang sekali.

Puas menggali cerita sejarah, kami diajak bersentuhan langsung dengan Bengawan Solo. Sesi nostalgia ditutup dengan mencicipi eksotisme menyeberangi sungai yang mendatangkan berkah dan juga sering menjadi ancaman itu. Jangan membayangkan sebuah kapal modern dan indah. Bengawan Solo memilih mendekap keserhanaan.  Sebuah perahu kayu menunggu dengan bersahaja di pinggir sungai, siap menyeberangkan kami. Perahu itu menjadi trasportasi alternatif bagi warga Kampung Sewu yang ingin menyeberang ke Dukuh Klatak, Desa Gadingan, Mojolaban, Sukoharjo, atau sebaliknya. Seutas tambang dipasang melintas di atas sungai, untuk membantu pengemudi perahu membelah arus Bengawan Solo.

Meski modernisasi telah menghantam, sebagian warga kedua desa tetap menjadi pelanggan setia perahu sederhana bertarif Rp1.000 untuk tiap kali menyeberang itu. Perahu-perahu tersebut siap mengangkut penumpang hampir 24 jam. Ada pengemudi yang mangkal dari pagi hingga malam, kemudian ada juga yang beroperasi dari malam hingga pagi. Setiap harinya, lebih dari 100 orang menggunakan jasa perahu sederhana itu.

Sembari menikmati kayuhan terampil si pengemudi perahu, saya mencoba membayangkan riuh rendah di Bengawan Solo puluhan tahun silam. Seandainya kejayaan itu lestari hingga kini, saya yakin Bengawan Solo tak bakal kalah tenar dengan Sungai Mekong di Vietnam maupun Sungai Chao Praya di Thailand. Bengawan Solo punya potensi besar untuk menjadi magnet wisatawan, bukan sekadar sungai yang hanya ramai dibicarakan setiap musim hujan tiba.  Mungkinkah Bengawan Solo mampu bangkit dari tidur panjangnya? Bisa iya, bisa juga tidak.  Jawabannya ada pada kita semua, pemerintah kota, pemerintah pusat, masyarakat dan semua pihak yang peduli dengan keberadaan Bengawan Solo.

Solo, 21 April 2013

About yusmei
Tergila-gila dengan membaca dan menulis...Punya mimpi menelusuri sudut-sudut dunia

18 Responses to Jejak Kejayaan Bengawan Solo

  1. DianRuzz says:

    Setiap kali melihat foto diatas, pasti teringat momen lebaran saat “nyebrang nggawan” ke rumah simbah Kanor. Hanya saja perasaan waktu itu lebih was-was, karena perahu kayu sederhana itu tidak hanya dinaiki penumpang, tapi ples sepeda motor yg sekali angkut bisa sampai 8 motor *ngitung berat beban perahu* Kalau pas sungainya “asat” sih ndak papa, tapi klo pas banjir ngeri juga #GaBisaRenang

  2. yusmei says:

    Sampai sekarang msih buat ngangkut motor! kemarin juga lumayan deg-degan tuh mbak pas naik perahunya, mana gak pake pelampung. Sesama klan gak bisa berenang, kita pasti tahu rasanya…hahaha

  3. Masih merasa nyesel gara-gara gagal ikut melipir Sungai Bengawan hiks….
    Setuju banget dengan kalimat terakhir yang #makjleb buat semua pihak. Cuma bisa berharap semoga ke depannya pelabuhan-pelabuhan kecil di Solo bisa berkembang sebagai wisata andalan Solo kaya sungai Chao Praya di Bangkok.

    • yusmei says:

      jadi jangan sampai melewatkan bluskan bulan ini yaaa :):) . Sebenarnya apa yang ada sekarang saja mungkin sudah bisa menjadi aset wisata, tapi promosinya memang minim ya,,,banyangin, turis2 bule pasti seneng banget naik perahu kayak gitu..pasti eksotis menurut mereka 🙂

      • Betull banget…. Bule dikasih lihat pohon talok udah heran setengah mati, apalagi dibawa naik gethek keliling Kali Pepe sampe Bengawan Solo ya…hehe…

      • yusmei says:

        Hahaha iya,,,mereka diajak ke sawah, mandiin kerbau, trus susur sungai dll yang indonesia banget pasti seneng…tergantung cara kita ngemasnya aja sih 🙂

  4. waaaaa … beringinnya udah bisa dimasukin benda cagar budaya tuh 🙂

  5. ghozaliq says:

    jadi teringat rumah simbah di sragen, sudah berkali-kali nyebrang bolak-balik di atas sungai Bengawan Solo, tapi lum pernah sekalipun berhenti di situ 😦

  6. nyonyasepatu says:

    Airnya emang coklat ya yus?

  7. rintadita says:

    seru banget ya nyebrangnya, memacu adrenalin 😀

  8. Rahmat Hidayat says:

    alhamdulillah ada tuliasn baru lagi.. solo tak ada matinye..hehe

  9. Fahmi Anhar says:

    kapan² blusukan sowan ke pesanggrahan langenharjo yuk mbak, dulu pernah ngobrol lama dengan gusti siapa gitu, lupa… beliau cerita panjang lebar ttg bengawan solo tempo doeloe

Leave a comment